Senin, 05 Desember 2011

Siksa Kubur

Imam Al-Ghazali

Tentang pernyataan Anda, ucapan yang populer kalau siksa kubur adalah siksaan pedih dan rasa sakit karena api, kalajengking dan ular, adalah benar. Hanya saja, saya beritahukan kepada Anda, karena tidak mampu memahami rahasia dan hakikatnya. Oleh sebab itu, saya berikan beberapa contoh tentang hal tersebut sebagai pendorong bagi Anda untuk mengetahui hakikatnya dan agar Anda bersiap sedia menghadapi perkara akhirat. Sebab itu, maut adalah “Berita yang besar, ketika kamu sekalian berpaling darinya.”



Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Seorang Mukmin dalam kuburnya berada di sebuah taman yang hijau, kuburannya itu telah dilapangkan baginya seluas tujuhpuluh depa. Wajahnya bercahaya hingga menyerupai rembulan pada malam purnama. Tahukah kalian semua tentang apakah ayat ini diturunkan, ‘maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit,’ (Q.s. Thaha: 124).” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya Iebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Tentang siksa orang kafir di dalam kuburnya, dia dikuasai oleh sembilanpuluh sembilan ekor ular naga, tahukah kalian, apa ular naga itu? Adalah sembilanpuluh sembilan ekor ular besar, masing-masing ular merniliki sembilan kepala yang menggigit, menjilat dan meniupnya pada tubuhnya hingga pada hari mereka dibangkitkan.” (Al-Hadis).

Perhatikan muatan hadis ini! Hal tersebut benar-benar terjadi, berdasar pada penyaksian langsung yang dialami oleh beberapa pemilik matahati, yang jauh lebih jelas dan mata lahir (inderawi).
Orang bodoh mengingkarinya, “Aku telah melihat ke dalam liang lahat, aku tidak melihat apa pun!”

Si bodoh ini perlu diberitahu, ular naga tersebut tidak keluar dari badan si mayit, tetapi dari ruh batinnya bukan ruh jasadnya. Sebab ruh batin itu yang merasakan sakit maupun nikmat. Bahkan ular naga tersebut bersama dirinya, di dalam batin sebelum kematiannya. Hanya saja dia tidak merasakan sengatannya karena di dalamnya terdapat ruangan gelap yang disebabkan luapan nafsu syahwat. Dia merasakan sengatan ular naga itu setelah mati.

Ular ini tercipta dari sifat-sifat si kafir, jumlah kepalanya bergantung pada kadar jumlah akhlak tercelanya dan kecenderungan hawa nafsunya pada kesenangan duniawi.

Asal dari ular naga ini adalah cinta dunia. Jumlah kepala yang meluncur dari ular naga tersebut bergantung pada beberapa sifat tercela yang bersumber dari cinta dunia (hubbud-dunya); seperti sifat iri hati, dengki, riya’, sombong, kemewahan, makar, tipu daya, suka kehormatan, kecintaan pada dunia, suka bermusuhan dan membenci.

Tentang wujud semua itu diketahui dengan mata batin, demikian pula dengan jumlah kepalanya yang mematuk.

Tentang batasan jumlahnya, bahwa ular naga tersebut berjumlah sembilanpuluh sembilan ekor, diketahui melalui cahaya kenabian. Ular naga ini bersarang dalam lubuk hati orang kafir, tidak semata-mata karena kebodohannya tentang kekufuran, tapi lebih dari itu, karena kekufuran itu telah mengajak dan menggiringnya pada kekafiran. Seperti difirmankan oleh Allah Swt.:
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat.” (Q.s. An-NahI: 107).

Allah Swt. juga berfirman:
“Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya.” (Q.s. Al-Ahqaaf: 20).

Ular naga itu, jika memang seperti yang Anda duga —keluar dari badan mayit, tentu terlalu remeh. Sebab, barangkali terbayangkan bahwa ular naga itu menyimpang darinya, atau dia sendiri yang lari dari ular naga itu.

Namun tidak demikian, ular naga tersebut bersarang di lubuk hatinya, dia mematuknya lebih dari bayangan Anda tentang patukan ular naga. Padahal pada dasarnya, ular naga dimaksud adalah sifat-sifatnya dalam hidupnya, sebagaimana naga itu mematuk hati pemabuk cinta ketika dia menjual budak wanitanya, kemudian menyesalinya. Itu adalah naga yang bersarang di dalam kalbunya seperti bersarangnya api di dalam batu, sedangkan dia lalai terhadap hal tersebut. Maka berbalik, faktor kelezatan dan kenikmatannya berubah menjadi sebab kepedihan dan sakitnya.

Inilah rahasia sabda Rasulullah Muhammad Saw: “Sesungguhnya itu adalah perbuatan-perbuatan kalian yang dikembalikan kepada kalian.”

Allah Swt. berfirman:
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan di hadapkan (kepadanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara Ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat penyayang kepada hambahamba-Nya.” (Q.s. Ali Imran: 30).

Bahkan merupakan rahasia dari firman-Nya yang berbunyi:
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam” (Q.s. At-Takatsur: 5-6).

Maksudnya, neraka jahannam itu ada di dalam batin kalian, maka carilah dengan pengetahuan yakin (ilmul yaqin), kalian pasti akan melihatnya sebelum kalian mengetahuinya dengan mata keyakinan (ainul yaqin).



Bahkan itu adalah rahasia dari firrnan-Nya yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.” (Q.s. Al-Kahfi: 29).

Tidak dinyatakan dengan redaksi, “akan mengepung mereka.”

Ini adalah pengertian dan pernyataan orang yang berkata, bahwa surga dan neraka itu adalah makhluk.

Allah Swt. pasti berkata benar, barangkali dia tidak menangkap dan tidak pula mengerti rahasia firman-Nya.

Jika Anda tidak mengerti beberapa pengertian atau maksud AlQur’an, maka Anda hanya memahami Al-Qur’an dari kulit luarnya saja; sebagaimana binatang ternak mendapat kulit gandum, yakni jerami.

AI-Qur’an merupakan konsumsi seluruh manusia sesuai dengan kapasitas mereka. Hanya saja konsumsi terhadap Al-Qur’an bergantung pada tingkat derajatnya. Pada setiap makanan terdapat: saripati, tepung dan jeraminya. Kelahapan keledai terhadap jerami melebihi kelahapannya terhadap roti yang diproduksi dan saripatinya.

Anda lebih rakus untuk tidak meninggalkan derajat kebinatangan, dengan tidak menapaki derajat atau tingkatan kemanusiaan, bahkan tidak pada tingkatan kemalaikatan.

Jika Anda bertanya, “Apakah ular naga itu berupa sebuah wujud yang dapat disaksikan seperti penglihatan mata, atau hanya berupa rasa pedih atau sakit dalam jiwa si mati, seperti rasa pedih yang dialami oleh pemabuk cinta bila ia dipisahkan dengan kekasihnya?”

Tidaklah demikian, dia akan menjelma pada Anda hingga Anda dapat menyaksikan langsung, namun dalam wujud ruhani bukan dalam wujud yang dapat diindera oleh orang yang jauh dari alam musyahadah, bila melihat di dalam liang kuburnya. Itu termasuk alam malakut.

Si pemabuk cinta bisa saja menjelma dalam tidurnya, barangkahi dia bermimpi melihat ular besar mematuk lubuk hatinya. Karena dia sedikit jauh dari alam syahadah dengan tidur; sehingga hakikat sesuatu menjelma baginya dalam wujud yang menyerupai wujud hakikinya, bersumber dari alam malakut. Mati lebih tuntas tersingkap ketika tidur, karena lebih terfokus berfantasi, dan lebih tuntas dalam konsentrasi terhadap ruh dan tirai dunia ini. Karenanya, hal itu menjadi wujud penuh yang nyata dan abadi. Sebab, mati adalah tidur panjang, yang hanya bisa dibangunkan pada hari Kiamat nanti.

Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.s. Qaaf: 22).

Orang yang bangun di samping orang tidur —walaupun tidak menyaksikan ular besar yang mematuknya, hal itu tidak menjadi kendala dan penghalang tentang adanya ular tersebut dan rasa sakitnya karena patukan ular. Demikian pulalah kondisi mayit di dalam kubur.

Barangkali Anda bertanya, “Anda [penulis] menyatakan pikiran yang bertentangan dengan pernyataan populer, tidak logis menurut publik. Karena Anda mengira bahwa ancka ragam siksa akhirat dapat diketahui dengan cahaya mata batin (al-bashirah) dan penyaksian langsung, telah melampaui batas penguasaan syariat. Lalu, bisakah Anda —jika benar demikian— menerangkan batasan-batasan tentang klasifikasi siksa akhirat secara rinci?”

Bahwa perbedaan saya dengan pendapat jumhur, tidak saya pungkiri. Bagaimana jika mengingkari seorang musafir yang berbeda dengan jumhur? Padahal jumhur diam di negara tumpah darahnya dan tempat kelahirannya. Itu adalah rumah pertamanya. Sementara mereka, yang pergi jauh di antara mereka hanyalah perorangan saja.

Negara merupakan tempat tinggal badan dan ucapan. Sedangkan tempat ruh manusia adalah alam-alam sadar. Tempat ruh manusia yang pertama adalah alam inderawi; tempat kedua adalah alam imajinasi atau fantasi; dan tempat ketiga adalah alam persepsi.

Selama masih ada di tempat pertama, manusia itu ibarat ulat dan kupu-kupu. Tilam api tidak bisa dirasakan, kecuali dengan indera rasa. Jika difantasikan, dan tersimpan dalam fantasinya, setelah merasakan, tentu tidak akan berdesakan di atas api antara yang satu dengan yang lain, karena telah merasakan sakitnya. Burung dan binatang lainnya, jika telah merasakan sakit di satu tempat karena pukulan, ia pun pergi menjauh dan tidak kembali lagi ke tempat itu, karena sudah mencapai tempat kedua, yaitu adanya persepsi pada kepedihan, setelah merasakannya. Selama masih ada di tempat kedua, manusia itu masih merupakan binatang yang belum sempurna. Batasan yang harus dicapainya sekadar menghindar dari sesuatu yang menyakitkan, dan sesuatu yang belum dialami penderitaannya, dan karena tidak tahu, ia lalu menghindari.

Bila manusia ada pada tempat ketiga —yaitu alam persepsi— maka dia itu adalah binatang yang sempurna seperti kuda.

Kuda menghindari singa pada awal ketika melihatnya, walaupun belum pernah menyakitihya sama sekali. Menghindarnya kuda tersebut bukan karena dia tahu bahwa singa itu akan menyakitinya. Bahkan domba bila melihat singa pertama kali, pasti menghindar. Tapi ketika melihat sapi dan onta —padahal lebih besar fisiknya— dia tidak menghindar, sebab tidak biasanya sapi dan onta itu mengganggu dan menyakiti yang lain.

Mereka itu, sama dengan binatang, baru setelah itu manusia naik dan meningkat pada alam kemanusiaan (alamul insaniyah), sehingga dia mengetahui banyak hal yang semula tidak masuk dalam indera, fantasi dan persepsinya. Karenanya, ia menghindar dari perkara-perkara masa depan (akhirat). Penghindarannya terhadap dunia tidak terbatas seperti menghindarnya domba ketika melihat singa. Dari sinilah hakikat kemanusiaan terjadi. Dan sebenarnya itulah ruh yang dinisbatkan kepada Allah Swt. dalam firman-Nya, “... dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29, Shad: 72).

Pada saat demikian, di alam ini, dibukakan pintu malakut, sehingga dia dapat menyaksikan ruh-ruh yang terbebas dari tirai palsu, bentuk rupa yang menutupi. Dan alam ini tanpa batas.

Alam nyata atau alam inderawi; alam imajinasi atau fantasi dan alam persepsi sangat terbatas, karena melingkupi dan melekat pada tubuh saja; sedangkan tubuh pasti terbatas.

Berjalan di alam ini, perumpamaannya sama dengan berjalan di atas air secara fantasi, kemudian naik dan meninggi di atas udara. Karena itulah, ketika dikatakan kepada Rasulullah Saw. bahwa Nabi Isa as. berjalan di atas air, beliau bersabda, “Benar, kalau bertambah yakin, niscaya beliau berjalan di udara.”

Sedangkan perumpamaan keberadaan manusia di alam inderawi adalah seperti berjalan di atas tanah. Antara bumi dan air terdapat alam yang berlangsung seperti perjalanan kapal laut. Dari sana lahir tingkatan setan, hingga manusia menembus alam kebinatangan dan berakhir pada alam setan.

Dari situ nanti bertolak menuju alam malaikat, bisa saja manusia berdiam dan berdomisili di alam ini. Penjelasan tentang hal ini sangat panjang.

Tingkatan alam-alam tersebut merupakan tempat hidayat, hanya saja petunjuk yang dinisbatkan kepada Allah terdapat di alam keempat, yaitu alam ruh.

Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah’.” (Q.s. Ali Imran: 73).

Maqam dan kedudukan manusia —kadar ketinggian dan kerendahannya— bergantung pada kadar pencapaiannya. Inilah makna dari ucapan Ali r.a, “Manusia adalah anak (yang lahir) dari kebaikan yang diusahakan.”

Jadi, manusia punya kemungkinan menjadi ulat, keledai, kuda atau setan, kemudian mampu melewati tingkatan itu, maka ia menuju alam malaikat.

Malaikat itu memiliki tingkatan-tingkatan antara lain: Malaikat bumi, malaikat langit, malaikat muqarrabun yang jauh dari perspektif langit dan bumi, yang hanya konsentrasi pada keindahan hadirat Ketuhanan serta konsentrasi pada Wajah Allah. Mereka selamanya kekal di tempat yang kekal (darul baqa’). SelainWajah-Nya, langit dan bumi berikut seluruh alam inderawi, hal yang imajinatif-fantastis, dan hal yang perspektif yang berkaitan dengan langit dan bumi, berakhir pada kefanaan.

Inilah makna dari firman Allah Swt.:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.s. Ar-Rahman: 26-7).

Alam-alam di atas merupakan tahap-tahap kemanusiaan, dari derajat kehinaan binatang sampai naik pada tahap malaikat. Para malaikat yang selalu menghadap Wajah-Nya Yang Maha Agung nan Indah, bertasbih, menyucikan-Nya malam dan siang tanpa, bosan.

Lihatlah pada kerendahan dan kemuliaan manusia sampai pada jarak pendakian mi’raj-mi’rajnya, bahkan hingga tersungkurnya mereka pada derajat terendah. Anak-anak Adam tergelincir pada kerendahan yang hina, lalu, hanya orang-orang yang beriman dan beramal saleh yang bisa menaiki tahap yang tinggi dan mendapat pahala yang tiada tara, berupa memandang Keindahan Wajah-Nya. Karenanya, ayat ini bisa direnungkan:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.s. Al-Ahzab: 72).

Sebab arti amanat adalah kesediaan terhadap janji dan risiko. Tidak ada nyali bagi penghuni bumi —binatang-binatang— karena binatang tidak punya potensi untuk menggapai tahap ketiga. Begitu juga malaikat, karena malaikat tidak punya rasa takut tergelincir pada kehinaan alam binatang.

Lihatlah pada keajaiban alam manusia ini, bagaimana mereka bisa naik ke langit yang tinggi dan turun pada tahap bumi terendah yang hina. Suatu peristiwa besar dan berisiko tinggi yang tak pernah ada pada jenis makhluk mana pun di alam ini. Sungguh kasihan! Bagaimana mereka menekan diri saya dengan risiko, dan menakut-nakuti, karena saya dituduh melampaui arus umum dan pandangan populer, yang karenanya, membuat saya justru gembira! Mereka yang benci dengan pandangan saya seperti itu, yang membuat diri saya senang? Suatu lembaran yang sia-sia, dan menghempaskan diri saya dengan angin lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar