Jumat, 09 Desember 2011

Nafsu Dikalahkan oleh Do’a Yang Benar

Dikisahkan bahwa Abu Yazid al-Bisthami ra, berkata, “Aku melihat kondisi ibadahku, lalu aku lihat penuh dengan campur aduk. Lalu aku melihat nafsuku dan anatominya, ternyata semuanya berhubungan dengan setiap cobaan. Aku pun melihat nafsu tidak pernah sunyi dari syirik, sedangkan aku tahu Allah Ta’ala tidak pernah menerima syirik.”
Aku katakan pada nafsu, “Wahai tempat segala keburukan! Sampai berapa kali engkau dipanggil Allah Ta’ala agar bertauhid padaNya, sedangkan dirimu tidak mau memandangNya?”
Lantas di hatiku ada kegelisahan hebat, karena gundahnya kemusyrikan itu. Lalu aku berpegangan dan mempersiapkan tungku perapian untuk cetakan emas, lalu aku nyalakan dengan api kebenaran, lalu kuletakkan di dalamnya ikatan agama, lalu aku tegakkan sandaran Keesaan, kemudiaan aku pukul-pukul dengan pemukul perintah dan larangan, dan begitu panjang penderitaanku, namun ketika aku memandangnya, kutemui nafsu itu tetap musyrik!”.

Lalu kukatakan, “Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Roji’un”. Sungguh nafsu tak pernah lekang karena kegersangan yang keras, siapa tahu ia bisa hancur dengan kelembutan, kehalusan dan keindahan. Lalu kumasukkan nafsu ke dalam kebun ingatan anugerah, kuletakkan dihadapannya, dua aroma angin sepoi dari kelembutan dan kemuliaan, lalu kuhembuskan hawa kasih sayang yang lembut, kebaikan dan kebajikan, begitu lama aku menderita karenanya. Namun ketika aku teliti, kutemui nafsu itu tetap musyrik!”.

Kukatakan padanya, “Wahai tempat segala kejahatan dan bencana. Kamu tidak akan bisa bagus karena panas yang keras, juga tidak bisa dijinakkan dengan kelembutan! Lalu kukembalikan pada istana Ahadiyah, agar dihajar dengan batu Wahdaniyah, dan dicuci dengan air bening Shomadaniyah, dan begitu terus menerus ia tercuci di sana dengan harapan agar nafsu menjadi bersih dari syirik, begitu lama aku menderita, namun ketika aku melihatnya lagi, ia tetap saja musyrik!”.
Kukatakan, “Innaa Lillaah!” Siapa tahu memperbaiki nafsu itu dari sisi lain. Lalu kuletakkan nafsu itu pada perempuan yang sedang sakit berdarah pada kelaminnya, terus menerus aku memandangnya seperti kebingungan dan seperti terdesak. Aku melihat bencana di balik peristiwa itu, sampai aku sendiri putus asa. Dan aku tahu, aku bakal tidak pernah sampai tujuanku. Akhirnya aku cerai nafsu itu hingga talak tiga, dan aku tinggalkan. Jadilah aku sendiri menuju Tuhanku dan aku memohon kepadanya: “Ya ‘Azizi, aku mohon padaMu, yang tak tersisa pun permohonan itu selain kepadaMu, agar aku merdeka dari perbudakan selain kepadaMu.”
Maka, ketika Allah Ta’ala mengetahui kebenaran doaku, dan putus asanya diriku dari nafsuku, itulah awal terijabahnya doaku agar aku bisa melupakan nafsuku secara total.”

Dunia & Orang Kafir
Diantara cita yang luhur antara lain apa yang dikatakan kepada abu Abdullah: “Jika Allah memberikan kepadamu dunia seisinya, apa yang anda lakukan?”
“Kalau bisa, akan aku jadikan satu suapan, kemudian aku timpakan pada mulut si kafir, pasti akan aku lakukan!” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena Allah swt marah pada orang kafir dan pada dunia secara bersamaan. Lalu aku pun berbuat demikian, agar menimpa pada masing-masing yang terkena amarah.”
Lalu beliau mengisahkan kisah yang benar, bahwa seorang raja Hirah (nama sebuah kota) mengutus untuk mengirimkan tujuh kantong berat berisi gandum. Ketika itu Syeikh sedang berada di Hirah dengan para muridnya, lantas makanan disajikan oleh para pembantunya.
Syeikh Abu Abdullah berkata padanya, “Kasihkan semuanya yang ada (tersisa) kepada seluruh orang miskin. “
“Tidak mungkin, semua pintu tertutup,” kata sang pembantu.
“Kalau begitu bawa saja ke orang-orang Majusi yang jadi tetangga kita…” kata Syeikh.
“Saya takut ancaman siksa Allah Ta’ala karena meninggalkan perintahNya..”
Toh kami akhirnya memberikan juga kepada kaum Majusi. Tiba-tiba dinihari mereka datang dan bertanya, “Apa hikmah pemberian anda pada kami, padahal kami berbeda dan kontra dengan anda?”
“Dunia itu musuh Allah. Dan orang kafir juga musuh Allah. Seorang pecinta tak akan mendekat pada kekasihnya, hingga kekasihnya menjauhi musuhnya.”
Akhirnya mereka itu masuk Islam semuanya di hadapan Syeikh.

Tidak Ingin Selain Dia
Suatu hari sebagian para penempuh Jalan Sufi sedang berjalan di pelosok, tiba-tiba dirinya berbicara untuk suatu hajat, ternyata ia sudah ditepi sumur. Lalu ia lembarkan bejana air ke dalamnya untuk kepentingan minum. Namun ketika bejana keluar, sudah dipenuhi dengan emas. Bejana itu pun ia lempar ke dalam sumur sembari berkata, “Oh Tuhan Yang Maha Agung, aku tidak ingin selain diriMu…”

Ammar al-Qurasy ra mengatakan, “Suatu hari aku di pesolok desa, aku ingin memanggil karena suatu kebutuhan mendesak. Kuambil sapu tangan dari guruku, lalu kusobek dua belah. Aku pakai separo, dan aku basahi satu lagi. Yang terjadi malah muncul konflik dalam diriku soal kebutuhanku. Tiba-tiba seluruh desa itu menjadi perak semua. Aku pun berlalu sembari munajat, “Ilahi, aku mohon perlindungan darimu atas kehendak selain padaMu
Imam Zainul Abidin Ali bin al-Hasan ra, mengatakan, “Ketika aku berada di tempat Abu Abdullah al-Husain as, kubaca sebagian kitab. Di tangannya ada sebilah belati. Kulihat ada hurup yang salah, lalu kukatakan, “Coba pisaumu, akan kugunakan membenarkan huruf ini.”
Aku dapatkan pisau itu, dan ketika sudah selesai tugasku, kukembalikan.
“Wahai Ali, jangan ulangi lagi seperti ini, anda akan terjatuh pada hinanya permintaan dan rendahnya cita-cita.!”

Burung Dan Ikan Hiu
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya, “Aku dengar anda berjalan di atas air dan terbang di atas udara.”
“Orang beriman lebih memuliakan Allah Azza wa-Jalla ketimbang langit shaf tujuh. Apa yang perlu dikagumi dari sekadar berjalan di air dan terbang di udara, seperti posisi burung dan ikan hiu?”.

Nabi Musa AS dan Trenggiling
Suatu saat Nabi Musa as melewati pantai sepanjang laut. Lalu ia bermunajat, “Tuhanku, lelah sekali kedua dengkulku, dan berat sekali punggungku. Oh Kekasihku, apa yang hendak kau berlakukan padaku ini?”
Allah pun mengutus binatang Trenggiling untuk menjawabnya.
“Wahai anak Imran, apakah kau berharap pada Tuhanmu, dengan ibadahmu padanya? Bukankah Allah telah memilihmu dan berbicara padamu, dan membuatmu dekat dan bermunajat padaNya? Demi Yang menciptakanku dan Melihatku, sesungguhnya aku berada di padang sahara ini sejak 360 tahun, selama itu aku bertasbih siang malam, sedikit pun aku tidak berpaling dariNya. Dan sejak tiga hari lalu aku tidak makan. Bahkan setiap saat gemreteglah tulang-tulangku karena Maha BesarNya.”

Ujian Tawakkal
Abu Said Abul Khair ra menegaskan, “Suatu hari aku menuju pelosok desa, rasa lapar benar-benar mencekam. Nafsuku meronta agar memohon kepada Allah Ta’ala, lalu kukatakan, “Itu bukan perilaku orang yang tawakkal.” Lalu nafsuku menuntutku agar bersabar. Namun ketika aku berhasrat untuk kedua kalinya, ada bisikan lembut:
Adakah ia bodoh bahwa Kami lebih dekat?
Kami tak pernah menelantarkan siapa yang datang kepada Kami, Abu Said ingin memohon sabar seakan Kami tak melihatnya dan tidak tahu.
Sebagian Syeikh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan padanya. Aku punya seratus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai sayang, ini buat kebutuhan-kebutuhanmu…”
Pemuda itu tidak menoleh sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai Syeikh, dinar ini sesuatu yang tidak bisa aku jual dengan syurga dan seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”

Makanan Syurgawi
Abu Bakr al-Wasithy ditanya, “Apakah anda ingin makanan?”
“Ya,” jawabnya.
“Makanan apa?”
“Satu suapan dari dzikrullah, dengan kejernihan yaqin, dan di atas sajian ma’rifat, dengan tegukan air husnudzon dari wadah ridlo Allah Swt.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar