Sabtu, 10 Desember 2011

Wasiat Bagi Para Murid

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Langkah pertama yang harus dijejakkan oleh penempuh (al-murid) tharikat ini, adalah ia harus melangkah di atas jalan kejujuran hati yang benar, agar benar pula membangun yang berdasarkan prinsip yang shahih. Sebab para syeikh berkata, “Mereka terhalang untuk sampai kepada Allah swt. (wushul) disebabkan mereka menelantarkan prinsip-prinsip akidah (al-ushul).”

Begitupun Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Awal mula bagi penempuh adalah meluruskan akidah antara dirinya dengan Allah swt, bersih dari segala dugaan dan keserupaan, jauh dan kesesatan dan bid’ah, muncul dari bukti-bukti dan hujjah. Bagi seorang murid, menjadi cela bila mengaitkan diri pada suatu mazhab yang bukan mazhab dari thariqat ini. Tidak ada pengaitan seorang Sufi kepada suatu mazhab yang berbeda dengan thariqat kaum Sufi, kecuali menyimpulkan akan kebodohannya, tentang mazhab thariqat ini. Sebab hujjah dalam persoalan mereka (kaum Thariqah) lebih jelas dibanding hujjah siapa pun. Dan kaidah mereka lebih kuat dibanding kaidah mazhab mana pun.”

Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadis, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikiran. Sementara para syeikh golongan Sufi melampaui semuanya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu tampak gaib, namun bagi kalangan Sufi tampak jelas. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Sufi pengetahuan maujud dari Allah swt. Yang Maha Haq. Mereka adalah kalangan yang senantiasa bertemu dengan Allah swt. (ahlul wishal) sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (ahlul istidlal): Para Sufi itu sebagaimana diungkapkan penyair:
Malamku, bersama Wajah-Mu, cemerlang
Sedang kegelapan meliputi manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.

Tidak satu pun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang syeikh dari para tokoh Sufi ini, yang memiliki ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan ummat dari kalangan para ulama pada waktu itu, benar-benar telah berpasrah diri kepada syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap berkat darinya. Kalau saja tidak karena keistimewaan dan citra khusus bagi mereka, akan terjadi persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy-Syafi’y semoga Allah swt. meridhai mereka berdua datanglah Syaiban ar-Ra’y.

Ahmad bin Hanbal berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan.” Maka asy-Syafi’y berkata, “Jangan Anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya.

Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu, bila ada orang lupa akan shalatnya dan shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang alpa terhadap Allah swt. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga tidak lupa Tuannya.” Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, asy-Syafi’y berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Sufi) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”

Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy-Syibly di Masjid al-Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy-Syibly. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy-Syibly tentang masalah haid, dengan tendensi ingin mempermalukannya. Asy-Syibly menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid.

Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy-Syibly, sambil berkata, “Wahai Abu Bakr, engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja.”
Dikatakan, ‘Abul Abbas bin Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al-Junayd r.a, dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, ‘Apa pendapatmu tentang ucapan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al-Junayd. Namun aku tahu ucapan tersebut merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan’.”

Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, “Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al-Junayd. Lihatlah, apakah Anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al-Junayd. Ia bertanya kepada al-Junayd tentang tauhid, lalu junayd menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al-Junayd, “Tolong Anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al-Junayd mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah Anda ulangi sekali lagi!” Lantas al-Junayd pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang Anda ucapkan. Tolonglah Anda uraikan untuk kami!” Al-Junayd menjawab, “Kalau Anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya.”

Lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al-Junayd serta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Sufi merupakan prinsip paling shahih, dan para syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli penempuh dan penahap tujuan mereka, maka para syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya kegaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak kompeten untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Sufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain.”

Al-Junayd berkata, “Jika Anda mengetahui bahwa Allah swt. memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu tasawuf, dimana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.”

Apabila telah mengikat dirinya dengan Allah swt, sang murid harus memperoleh ilmu syariat, bisa dengan jalan penelitian (tahqiq) atau melalui cara bertanya kepada imam-imamnya, mana kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan. Bila di antara mereka berselisih pandang soal syariat, si murid harus mengambil pandangan yang lebih hati-hati dan lebih teliti. Disamping itu, ia harus berusaha keluar dari lingkaran khilafiyah (al-khuruj minal khilaf). Sebab kemurahan (rukhshah) dalam syariat hanya diperuntukkan bagi mereka yang lemah dan mereka mendapatkan kesibukan dan hajat yang amat mendesak. Sedangkan kesibukan para murid, tidak lain hanyalah bersibuk diri bersama Allah swt. Karena itu dikatakan, “Apabila si fakir turun dari derajat hakikat kepada rukhshah syariat berarti ikatannya dengan Allah swt. telah rusak. Janji antara dirinya dengan Allah swt. juga rusak. Kemudian bagi murid, harus belajar adab dengan seorang syeikh. Apabila dalam menempuh jalan Sufi ini murid tidak mendapatkan seorang syeikh ruhani, ia tidak akan bahagia selamanya.” Karena itu Abu Yazid al-Bisthamy berkata, “Siapa pun yang tidak memiliki guru, maka setanlah imamnya.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Pohon, apabila tumbuh dengan sendirinya, hanya tumbuh dengan daunnya, tetapi tidak berbuah. Begitu pula murid, apabila tidak berguru dengan syeikh, lalu menyerap begitu saja ajaran tasawuf melalui metodenya sendiri, maka murid itu adalah penghamba hawa nafsu, yang tidak akan lestari.”

Bila si murid hendak menempuh jalan ruhani (suluk) setelah melampaui semua itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah tobat kepada Allah swt. dari segala kesalahan. Meninggalkan seluruh dosanya baik dosa lahir maupun batin, dosa kecil maupun besar. Ia pun harus rela dengan caci-maki orang lain. Sebab barangsiapa tidak rela dengan caci-maki, tidak akan terbuka hatinya untuk menjalani tharikat ini. Dalam contoh seperti itu, para Sufi telah menempuhnya. Setelah itu murid harus melakukan pembuangan segala ikatan dan kesibukan. Karena bangunan tharikat ini berada di atas kekosongan hati (selain Allah swt.).

Dulaf asy-Syibly berkata kepada Ali al-Hushry pada awal mula penempuhan jalan ruhaninya, “Apabila masih ada kepedulian selain Allah swt. dalam hati Anda, dari hari Jum’at ini ke Jum’at yang akan datang, haram bagi Anda menghadiri majelisku.”
Bila si murid ingin keluar dari kaitan-kaitan yang ada, pertama-tama ia harus keluar dari harta-bendanya. Sebab harta itu yang dapat memalingkan dari Allah swt. Tidak seorang murid pun ditemukan yang memasuki persoalan tasawuf, sementara dalam dirinya masih ada keterkaitan dengan dunia, melainkan keterkaitan-keterkaitan duniawi itu akan menariknya keluar dari dunia tasawuf. Kedua, bila telah keluar dari harta-benda, murid harus keluar dari tahta/status sosial. Terlibat mengejar pangkat merupakan faktor pemutus yang amat besar. Bila penolakan dan penerimaan manusia terhadap dirinya masih belum diterima dengan hati yang sama dimana tidak ada manfaat secara pribadi, bahkan membuat dirinya mendapatkan kesusahan, karena pergaulan dengan sesama itu, bahkan ia tidak mendapatkan pengukuhan dan atau pemberkatan karena tekanan pengucilan orang-orang terhadap ucapan-ucapan ini, bagaimanapun tetap tidak dibenarkan berhasrat kepada mereka. Bagaimana pemberkatan manusia itu dibenarkan? Sementara mereka harus keluar dari status sosial dan kepangkatan mereka? Mengapa? Sebab pemberkatan dan pengejaran status kepangkatan di mata manusia merupakan racun yang mematikan bagi dirinya.

Apabila seorang murid keluar dari harta dan tahtanya, ia harus membenarkan dan meluruskan akidahnya antara dirinya dengan Allah swt.

Disamping itu dia tidak boleh berbeda pandangan dengan syeikhnya, dalam berbagai isyarat yang ditujukan kepadanya. Berbeda pandangan dengan syeikh, bagi seorang murid, merupakan bahaya besar. Karena awal perjalanan ruhaninya merupakan bukti bagi seluruh usianya.

Syarat lain bagi murid, tidak boleh ada ganjalan kontradiksi terhadap syeikhnya. Bila dalam benaknya mempunyai persepsi bahwa dirinya, di dunia dan di akhirat mempunyai kemampuan dan nilai, atau merasa paling hebat di muka bumi, maka cita-citanya tidak shahih. Karena, seharusnya ia berjuang agar mengenal Tuhannya, bukan berjuang untuk mendapatkan status dirinya.

Di sinilah, adanya perbedaan antara orang yang mengharapkan Allah swt. dan orang yang mengharapkan status kepangkatan, baik harapan itu untuk dunianya maupun akhiratnya.
Selain itu murid wajib menjaga rahasia batinnya, bahkan dari kancing bajunya sekalipun, kecuali hanya kepada syeikhnya. Kalau murid memendam rahasia nafas jiwanya terhadap syeikhnya, berarti ia telah mengkhianati kesantrian terhadap syeikh.

Apabila terjadi suatu perbedaan dengan petunjuk syeikhnya, ia wajib berikrar di hadapan syeikh pada saat itu pula, kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada syeikh, hukuman apa pun yang dijatuhkan kepadanya atas tindak keburukan dan sikap kontranya. Hukuman itu terkadang; ia disuruh bepergian atau perintah yang diketahuinya.

Bagi para syeikh sendiri tidak dibenarkan melampaui apa yang menjadi kesalahan para murid. Karena hal demikian berarti menelantarkan hak-hak Allah swt.
Syeikh tidak boleh menuntun murid dengan suatu dzikir apabila murid belum menyingkirkan segala ketergantungan duniawi, namun, seharusnya seorang syeikh cukup melatihnya saja. Namun apabila sang syeikh telah menyaksikan murid melalui hatinya, bahwa murid telah benar hasrat utamanya, maka syeikh harus membuat syarat agar murid ridha terhadap apa yang dihadapi dalam tharikat ini berupa bagian-bagian praktis dari aturannya. Maka, demikian syeikh mengambil janji kepada murid untuk tidak berpaling dari tharikat ini, manakala murid menghadapi berbagai masalah seperti kesengsaraan, kehinaan, kefakiran, kepedihan dan penyakit.

Sang murid dilarang menebarkan sikap yang meremehkan, tidak boleh mencari kemudahan ketika tertimpa kekurangan dan desakan, tidak lebih dahulu meminta dan tidak bersikap malas-malasan. Sebab kemandegan murid dalam waktu senjangnya merupakan keburukan. Perbedaan antara senjang dan mandeg: bahwa senjang waktu masih ada peluang untuk kembali meneruskan hasrat atau keluar dari cita-cita penempuhan. Sementara kemandegan, berarti berhenti menempuh jalan ruhani, karena dorongan menikmati kemalasan. Setiap murid yang mandeg pada awal hasratnya tidak akan memperoleh sesuatu.

Apabila syeikhnya memberikan latihan kepadanya, syeikh harus menuntun sebagian dzikir sebagaimana yang ditunjukkan. Syeikh memerintahkan kepada murid untuk mengingat ucapan dzikir tersebut melalui lisan, kemudian si murid dianjurkan untuk menyelaraskan ucapan dzikir dengan hatinya. Lalu syeikh menegaskan kepada murid, “Berteguhlah dirimu untuk melanggengkan dzikir ini, seakan-akan kamu, dengan hatimu bersama Tuhanmu selamanya. Jangan ada ucapan dzikir selain ucapan ini, semaksimal mungkin!”

Selanjutnya syeikh memerintahkan kepada murid agar senantiasa melanggengkan suci dan hadas (thaharah); tidak tidur kecuali dilanda kantuk; mengurangi makan sedikit demi sedikit secara bertahap, Sehingga terbiasa. Bagi syeikh, hendaknya tidak memerintahkan murid agar meninggalkan kebiasaannya secara serentak. Sebab dalam hadis dijelaskan, “Sesungguhnya benih yang tumbuh tidak pada tanah akan pupus, dan pertumbuhannya tidak lestari.”

Murid dianjurkan untuk memprioritaskan khalwat dan ‘uzlah. Ketekunannya dalam kondisi seperti itu tidak mustahil untuk menghilangkan bahaya-bahaya yang mengancam agama, serta bisikan-bisikan yang mengganggu hati.
Ingatlah, kondisi seperti itu keraguan dalam akidah tidak akan sunyi dari perjalanan permulaan seorang murid dalam menempuh hasrat spiritualnya. Apalagi bila si murid memiliki kecerdasan hati, seringkali menghadapi cobaan-cobaan seperti itu. Bahkan hampir semua murid mengalaminya.

Tugas syeikh, apabila melihat muridnya ada yang memiliki kecerdasan seperti itu, seharusnya diarahkan dengan argumentasi rasional. Sebab dengan pengetahuan seperti itu, tidak mustahil akan selesai permasalahannya, terutama untuk menghapus keraguan benaknya. Bila syeikhnya memberikan firasat, akan kekuatan dan keteguhan pada diri murid dalam menempuh tharikat ini, si murid diharuskan bersabar dan melestarikan dzikirnya, sampai muncul cahaya penerimaan, dan muncul rahasia mentari wushul. Dalam waktu dekat akan terjadi hal-hal seperti itu. Namun kejadian seperti itu tidak akan muncul kecuali pada individu-individu murid.

Sedangkan yang umum, terapi untuk mereka dikembalikan pada kontemplasi dan perenungan berbagai ayat, dengan syarat untuk memperoleh ilmu tentang dasar-dasar agama, sekadar untuk kebutuhan mendesak bagi murid.

Ingatlah, bagi para murid, secara khusus, akan mendapatkan ujian-ujian dalam menggapai pintu tharikat ini. Karenanya, bila mereka menyendiri dalam tempat-tempat dzikir atau majelis-majelis sima’, atau yang lain, jiwanya sering diganggu, dan kepeduliannya sering dihembusi oleh kemungkaran-kemungkaran yang mengatakan bahwa Allah swt. suci dari semua itu, disamping si murid tidak dipersepsikan adanya nuansa syubhat yang batil pada bisikan-bisikan itu. Tetapi gangguan itu tidak berjalan lama. Pada saat-saat seperti itu, kepedihan luar biasa menimpa murid, sampai pada batas, dimana makian yang paling kotor, ucapan yang paling keji, dan bisikan yang paling busuk, yang tidak dapat diungkapkan oleh si murid kepada siapa pun. Inilah gangguan terberat yang menimpa dirinya. Tugas si murid bila terganggu seperti itu, adalah tidak mempedulikan bisikan-bisikan itu dengan tetap melestarikan dzikir, kembali kepada Allah swt, mempertahankannya dengan sikap konsisten. Bisikan-bisikan itu bukanlah hembusan-hembusan setan, tetapi merupakan gangguan nafsu. Apabila hamba dapat menandinginya dengan cara meninggalkan orientasi pada gangguan tersebut, maka gangguan itu akan putus dengan sendirinya.

Di antara adab murid, atau bahkan kewajiban-kewajiban yang menjadi tugasnya, adalah menetapi tempat penempuhannya. Murid jangan sampai pergi sebelum menempuh jalan, sebelum hatinya wushul kepada Allah swt. Sebab, pergi dengan waktu yang bukan pada waktu yang ditentukan, merupakan racun mematikan.

Selain itu murid tidak akan meraih harapannya, bila pergi pada saat yang bukan waktunya.

Apabila Allah swt. menghendaki murid suatu kebaikan, Dia akan meneguhkan di awal penempuhan ruhaninya. Tetapi bila Allah swt. menghendaki keburukan pada murid, Allah swt. akan mengembalikan pada suasana semula, keluar dari wahana penempuhan, kembali dengan pekerjaan dan situasi semula, sebelum memasuki gerbang tharikat.

Apabila Allah swt. menghendaki murid dengan suatu cobaan, Allah swt. melemparkan pada wahana keterasingan. Ini pun bila si murid akan mendapatkan kebaikan wushul kepada-Nya. Apabila ia penempuh muda, jalan yang ditempuh adalah berkhidmat secara lahiriah dengan sepenuhjiwanya kepada para fakir. Ia berada di bawah satu taraf mereka dalam tharikat ini. Ia dan orang yang sejenjang, secara lahiriah harus menampakkan sikap sopan.

Mereka berhenti ketika sedang dalam perjalanan. Pangkal dari bagian mereka dalam tharikat ini, adalah memenuhi sasaran yang dihasilkannya, mengunjungi tempat-tempat dimana ia menempuh perjalanan, menemui orang-orang yang lanjut usia dengan ucapan salam, menyaksikan fenomena-fenomena, dan berjalan dengan penuh etika kesopanan. Kewajiban mereka adalah senantiasa pergi, sehingga tidak tergoda untuk berbuat dosa. Sebab, orang muda, bila menemukan keringanan dan godaan, ia berada di gerbang cobaan. Bila ia dicoba dengan cobaan itu, hendaknya, jalan yang ditempuh adalah menghormati orang-orang lanjut usia, melayani kepentingan para sahabat dan meninggalkan konflik dengan mereka, mengentas beban yang bisa meringankan si fakir. Berupaya sepenuhnya, agar tidak melukai hati sang syeikh.

Tugas kewajiban bersahabat dengan orang-orang fakir, bahwa mereka kelak akan mencacinya. Dan bagi murid tidak boleh mencaci mereka, kemudian membenarkan dirinya. Murid harus memandang bahwa dirinya mempunyai kewajiban terhadap masing-masing dari para fakir itu. Sebaliknya dirinya tidak memiliki hak maupun kewajiban yang harus dipenuhi oleh mereka.

Kewajiban murid, tidak boleh kontra dengan siapa pun. Bila kebenaran ada di pihaknya, sebaiknya ia diam Saja. Malah, ia harus menampakkan keserasian dengan siapa saja.
Setiap murid, yang berpapasan dengan suatu tempat yang di sana ada tawa, kegaduhan, atau tempat orang lewat, maka ia tidak boleh mendatanginya. Apabila berada dalam kumpulan orang-orang fakir, baik ketika di rumah atau bepergian, seyogyanya sang murid tidak berselisih pandang dengan mereka secara lahir, baik dalam hal makan, puasa, diam dan gerak. Kalaupun berselisih, sebaiknya berselisih lewat batin saja. Demikian pula, sang murid sebaiknya menjaga hatinya untuk senantiasa bersama Allah swt.

Apabila para fakir itu mengajak makan misalnya, sang murid seyogyanya makan satu atau dua suapan. Ia tidak boleh memberi peluang bagi nafsu syahwatnya sendiri.
Wirid yang bersifat lahiriah, bukan termasuk adab para murid. Kaum Sufi, senantiasa berupaya menyingkirkan bisikan-bisikan dan menerapi akhlak-akhlak mereka serta membuang sifat buruk dari hatinya. Bukan justru memperbanyak kebajikan. Yang menjadi keharusan bagi dirinya adalah menegakkan ibadat-ibadat fardhu dan sunnah. Sedangkan ibadat tambahan seperti shalat-shalat sunnah, maka melanggengkan dzikir dalam hati, lebih utama bagi mereka. Modal utama seorang murid adalah mendekati masing-masing adab itu dengan kelapangan jiwa, dan menghadapinya dengan penuh ridha, sabar atas kefakiran dan kepedihan, meninggalkan (sikap) minta-minta dan konflik, baik dalam keadaan terhimpit maupun lapang, dan lebih membatasi diri untuk sekadarnya saja. Siapa saja yang tidak bersabar untuk semua itu, lebih baik pergi saja ke pasar!

Siapa pun yang masih memiliki kesenangan sebagaimana manusia pada umumnya, maka harus memenuhi seleranya itu seperti kebanyakan manusia, dengan kerja keras dan memeras otak. Apabila murid mendisiplinkan diri dengan melestarikan dzikir, memprioritaskan khalwat, lantas dalam khalwatnya menemukan hal-hal yang tidak ditemukan oleh kalbunya; baik dalam keadaan tidur, jaga atau antara tidur dan jaga; berupa bisikan yang didengar atau makna hati yang disaksikan, hal-hal yang menentang adat kebiasaan, maka sebaiknya ia tidak terpaku atau disibukkan oleh hal-hal seperti itu selamanya. Tidak selayaknya, murid menunggu datangnya peristiwa-peristiwa ruhani seperti itu. Sebab peristiwa seperti itu, merupakan gangguan-gangguan yang menjauhkan murid dari Allah Yang Maha Benar dan Maha Luhur.

Apabila murid mendapatkan peristiwa ruhani seperti di atas, ia harus melaporkan kepada syeikhnya, sampai hatinya benar-benar bersih dan kosong dari itu semua. Sementara bagi sang syeikh, menjaga rahasia batin si murid, agar tidak diketahui oleh yang lainnya, dan syeikh pun harus menegaskan bahwa peristiwa seperti itu hanya masalah kecil. Sebab semua itu tidak lain hanyalah informasi-informasi ruhani. Sedangkan berorientasi pada informasi ruhani merupakan makar atau cobaan. Sebaiknya murid menghindari untuk meneliti secara detil peristiwa-peristiwa ruhaninya. Lebih baik ia konsentrasi pada cita-citanya yang lebih luhur lagi, dari sekadar menggapai informasi ruhani itu.

Ingatlah, bahwa di antara bahaya terbesar bagi murid, manakala murid merasa senang atas apa yang datang dalam batinnya, berupa kedekatan-kedekatan Allah swt. kepadanya, dan anugerah-Nya yang dilimpahkan kepadanya, semisal merasa gembira, bahwa Allah swt. mengilhamkan, “Aku mengkhususkan dirimu dalam hal ini, dan Aku menyingkirkan semua persoalanmu.“ Maka bila saja ia mengucapkan, “Dengan meninggalkan ini,” pasti dalam waktu dekat hal-hal yang tampak dalam mukasyafah hakikat akan segera dihanguskan darinya. Penjelasan masalah ini termasuk hal-hal yang tidak diperkenankan dalam beberapa kitab.

Di antara aturan-aturan murid adalah apabila tidak menemukan syeikh yang dapat mendidik adab jiwanya di tempat tinggalnya, seharusnya ia hijrah kepada syeikh yang memiliki derajat di zamannya untuk memberi pelajaran petunjuk hati para murid, kemudian mukim di sisi syeikh, dan dilarang pergi dari tempatnya sampai pada waktu yang sudah diizinkan oleh syeikh.

Ingatlah, menjadi kewajiban, bahwa mengenal Tuhannya Baitullah harus didahulukan dibanding ziarah ke Baitullah itu sendiri. Kalau saja dalam dirinya tidak mengenal Tuhan Baitullah, sama sekali tidak wajib menziarahi Baitullah. Orang-orang muda yang pergi menunaikan haji, yang dilakukan tanpa melalui petunjuk syeikhnya, merupakan indikasi bahwa orang-orang itu hanya mengikuti semangat nafsunya semata. Mereka menamakan dirinya sebagai pengikut tharikat ini, padahal keberangkatannya tidak memiliki dasar. Indikasinya, mereka tidak memiliki bekal keberangkatan, kecuali bekal perpecahan jiwanya. Padahal, apabila mereka berangkat dari jatidirinya satu langkah saja, niscaya selangkah itu lebih baik dibanding seribu kali bepergian.Di antara syarat bagi murid pula, bila berziarah kepada seorang syeikh, murid harus masuk dengan penuh rasa hormat, memandangnya dengan wajah yang ramah. Apabila sang syeikh menyilahkan dengan suatu sambutan, tentu, sambutan itu merupakan anugerah kenikmatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar