Sabtu, 10 Desember 2011

Riya'

Allah swt. berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya’....”(Q.s. Al-Maa’uun: 4-6)


“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridhaan Allah, kami tidak menghendaki ‘ balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Q.s. Al-Insan:9)
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Q.s. Al-Kahfi: 110).

Dimaksud ayat tersebut adalah: Ikhlas.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sesuatu yang paling kutakutkan dari kamu sekalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.”

Rasul saw juga bersabda, “Kelak pada hari Kiamat, ketika Allah memberi balasan amal ibadat hamba-Nya, Dia berfirman, ‘Pergilah kamu kepada orang yang kamu perlihatkan (riya’) amalmu, apakah mereka dapat memberikan balasan kepadamu’?”
Sabda beliau pula,
“Berlindunglah kalian kepada Allah dari Jubbul Hazn!” Sahabat bertanya, “Apa Jubbul Hazn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu suatu jurang di neraka Jahannam yang dipersiapkan bagi ahli qiraat (qurra’) yang riya’.”

Padahal Allah swt. berfirman (Hadis Qudsi), “Siapa yang beramal untuk-Ku dengan suatu amal, yang masih disertai pujian selain Aku, maka amal itu semuanya baginya, dan Aku bebas dari amal tersebut. Dan Aku adalah Maha Kaya (tidak butuh) dari segala kemusyrikan.” Sabda Rasulullah saw, “Riya’ minimal, adalah syirik.”

Isa as. berkata, “Apabila di antara kalian menepati waktu puasa, hendaknya kalian melumas rambut dengan minyak, begitupun jenggot. Hendaknya pula membasahi bibirnya, agar orang-orang tidak melihatnya sebagai orang yang berpuasa. Jika ia memberi dengan tangan kanannya, hendaklah menyembunyikan dari tangan kirinya. Jika salat hendaknya menurunkan tirai pintunya. Sebab Allah membagi pujian seperti membagi rezeki. “

Dalam kaitan ini Umar r.a. berkata kepada orang yang menundukkan tengkuknya, “Hai orang yang punya tengkuk, angkatlah tengkukmu. Khusyu’ itu bukan di tengkuk. Khusyu’ itu di dalam hati.”
Rasul saw bersabda, “Orang-orang riya’ kelak dipanggil pada hari Kiamat dengan empat nama panggilan, ‘Wahai orang riya’!; Wahai pendusta!; Wahai penyeleweng! dan, Wahai orang rugi!’ Pergi sana! Ambillah upah amalmu dari orang yang engkau beramal baginya. Kamu tidak
punya pahala di sisi Kami’.”

Qatadah r.a. berkata, “Apabila seorang hamba berbuat riya’, Allah langsung berfirman, ‘Lihatlah semua, bagaimana hamba itu menghinaKu’!”
Al-Hasan r.a. berkata, “Aku pernah berkawan dengan berbagai golongan, apabila salah seorang di antara mereka diperlihatkan suatu hikmah, jika diucapkan akan berguna bagi dirinya dan pengikut-pengikutnya. Tidak ada yang mencegahnya kecuali kemasyhuran.”

Hakikat Riya’
Riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan ibadat dan amal-amal kebajikan. Dilihat dari segi bentuknya, maka riya’ dapat dibagi menjadi enam bagian:

1. Riya’ lewat anggota badan, yaitu dengan cara menampakkan kurus kerempengnya badan, agar disangka orang kurang tidur (selalu bangun malam) dan banyak berpuasa, atau menampakkan rasa sedih dan iba agar disangka sangat peduli terhadap urusan agama; menampakkan kusutnya rambut agar disangka betul-betul tenggelam dalam urusan agama; menampakkan keringnya bibir dan rendahnya suara agar disangka betul-betul aktif berpuasa dan tekun berjuang.
2. Riya’ lewat gaya penampilan, yaitu dengan cara mencukur kumis, menundukkan kepala saat berjalan, sangat berhati-hati dalam setiap gerak-geriknya, sengaja membiarkan bekas sujud dalam salat, dan memejamkan mata saat berbicara agar orang menilai bahwa dirinya betul-betul memiliki kasyaf dan wawasan pengetahuannya dalam.
3. Riya’ lewat pakaian, yaitu dengan mengenakan baju wol dan baju kasar yang menjulur ke betis; memakai baju compang-camping dan lusuh agar orang mengira bahwa dirinya tidak sedikit pun berpaling dari mengingat Allah; mengenakan sorban dan membawa serta sajadah sebagaimana seorang tasawuf; mengenakan baju takwa agar disangka orang alim; membuat penutup di atas sorban dengan kain; memakai kaus kaki agar disangka meninggalkan hidup duniawi karena begitu kuatnya wara’, agar terhindar dari debu jalanan. Di antara mereka ada yang mencari tempat di hati orang-orang saleh. Kemudian memakai pakaian sopan, andaipun harus memakai pakaian baru, baginya seperti disembelih, karena takut orang-orang mengatakan, dirinya telah lepas dari zuhud.

Ada juga yang ingin dekat di hati para penguasa dan pengusaha, jika la berpakaian yang indah, nanti dipuji, namun jika memakai pakaian yang kharismatik mereka tidak yakin akan zuhudnya. Lalu dia mencari pakaian bermotif warna-warni dan kain tipis, atau kain wol yang tinggi, sehingga pakaiannya cukup style dan indah seperti pakaian orang-orang kaya, namun warnanya seperti warna pakaian orang saleh. Kalau la dipaksa memakai kain usang, tentu ia sangat tersiksa, khawatir wibawanya jatuh di mata orang kaya. Kalau dipaksa memakai pakaian tenun bulu yang lengket dan pakaian biasa, yang harganya sedikit di bawah harga pakaian orang-orang kaya, la malah khawatir kedudukannya jatuh di mata orang-orang saleh. Karena mereka mengatakan, “Ia telah lepas dari zuhud.”
4. Riya’ lewat kata-kata, seperti riya’ seorang mubaligh dan pakar. yaitu, dengan cara berkata-kata indah yang memikat; berucap dengan lagak bijak; mengutip hadis, dan kata-kata ulama salaf, dengan suara yang lembut, dan menampakkan rasa sedih dan iba, padahal dalam hatinya kosong dari nilai-nilai keikhlasan dan kejujuran. Mengaku ahli hadis, berteman para syeikh, dengan cepat-cepat menyela pembicaraan -bahwa itu benar dan tidak- agar disangka ahli ilmu pengetahuan.
Kadang-kadang la gerakkan kedua bibirnya agar dikira ahli dzikir; amar ma’ruf di hadapan banyak orang, sementara hatinya sunyi dari usaha menjauhi maksiat. Begitu juga ketika la menampakkan amarah atas kemungkaran, merasa sedih atas kemaksiatan yang merajalela, padahal hatinya tidak demikian.
5. Riya’ melalui amal, seperti melambatkan berdiri dan memanjangkan bacaan salat, memperbagus cara ruku’ dan sujud, tidak menoleh kanan-kiri, banyak bersedekah, puasa, berkali-kali menunaikan ibadat haji, berjalan khusyu’, padahal Allah swt. Maha Tahu batinnya, kalau la dalam keadaan sendiri tidak bergaya seperti itu semua. Bahkan jika tidak dilihat orang, la berjalan cepat, dan meremehkan salat. Jika merasa ada yang melihat, la kembali tenang agar disangka khusyu’.
6. Riya’ karena banyak murid, dan menyebut banyak syeikh agar disangka bahwa dia betul-betul banyak berteman para syeikh. Seperti orang yang senang bila dikunjungi oleh para penguasa dan ulama, agar dia disebut-sebut banyak berkatnya.


Semua yang kami sebutkan di atas adalah jenis jenis riya’ dalam agama, bahkan tergolong dosa besar dan tentunya haram, jika berkedokkan agama dalam mewujudkan ambisi pribadi. Tetapi, bila menyangkut masalah duniawi dan tidak memperalat agama untuk mencapai maksudnya, maka bukanlah tergolong riya’ yang dilarang, sepanjang tidak mengandung unsur penipuan. Seperti perilaku budak dunia yang mencari pengaruh dengan memperbanyak harta, anak, pakaian-pakaian mahal, menjaga pemeliharaan rambut, mempelajari ilmu kedokteran, ilmu hisab, gramatikal dan lain-lain. Semuanya itu tidak dilarang oleh agama, sepanjang tidak dilakukan secara takabur atau dengan cara-cara tercela lainnya.

Riya’ memiliki tiga derajat negatif:
Pertama, riya’ tidak bisa memasuki wilayah keagamaan dan lbadat. Seperti ketika memakai pakaian bagus, saat keluar, tetapi tidak saat khalwat. Semisal infak harta untuk suatu jamuan orang-orang kaya, supaya disangka dermawan, bahkan karena agar disangka sebagai wara’ yang saleh. Maka riya’ seperti di atas tidak haram. Sebab kompetensi hati itu seperti kepemilikan harta.

Memang, sedikit harta namun bermanfaat, sementara banyak harta yang bisa melupakan dzikir kepada Allah swt, kedudukannya tetap seperti orang kaya. Apabila hartanya didistribusikan untuk kepentingan kedudukannya, yang tentu bisa menyeret pada sikap alpa dan maksiat, tindakan tersebut haram.
Keharaman tersebut sebenarnya terletak pada sikap manipulasi keagamaan dan kewara’an. Karena la telah memanipulasi agar manusia yakin, seakan-akan la orang yang mukhlis dan taat. Niat tersebut sangat dibenci oleh Allah, dan tergolong fasik. Bila seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada jamaah, agar disangka la dermawan, maka ia telah membuat piutang, yang karenanya la maksiat, walaupun tidak menuntut agar diyakini kesalehannya. Karena kompetensi hati melalui cara memanipulasi, tetap haram.

Kedua, kalau la beribadat kepada Allah, tetapi demi makhluk, berarti la telah menghina agama. Siapa pun yang menawarkan diri untuk berbakti kepada raja, tetapi tujuannya bukan demikian, namun sekadar agar bisa disebut abdi raja atau menjadi budak wanita dari seorang raja, maka Anda bisa melihat, apa yang menjadi hak orang-orang brengsek tersebut, yang melakukan penghinaan terhadap raja. Hal yang sama, seandainya ada hamba yang mau beribadat, dengan keyakinan bahwa hamba-hamba Allah lebih mampu memberi manfaat dan menjauhkan dari bencana dibanding Allah swt, yang kemudian mendorongnya untuk beribadat secara baik di mata orang banyak, lantaran pamer ibadatnya dengan motivasi, manusia bisa dikuasai hatinya. Itulah sebabnya, mengapa riya’ itu tergolong syirik kecil, yang kemudian semakin bertambah karena rusaknya motivasi dan niat.

Di antara orang-orang yang berbuat riya’ adakalanya hanya demi memperoleh kedudukan. Adakalanya ia riya’ untuk menutupi tindakan kriminalnya berupa penggelapan harta wakaf atau harta anak yatim. Riya’ tersebut sangat kotor. Ada juga motivasinya demi anak-anak dan wanita, agar leluasa berbuat penyelewengan atau untuk menumpuk uang demi foya-foyanya. Inilah dosa besar riya’, karena ibadat kepada Allah justru dijadikan sebagai perantara melawan-Nya. Na’udzubillah!

Seperti dosa riya’ yang nilainya bergantung tujuan riya’ yang memotivasinya. Demikian pula obyek riya’, yang paling keras dosanya: Pertama, riya’ terhadap prinsip iman. Seperti orang munafik yang menampakkan dirinya Muslim, sementara hatinya tidak. Begitu pula orang yang ingkar yang menampakkan kelanggengan imannya, padahal iman itu telah lepas dari kalbunya. Kedua, riya’ terhadap prinsip ibadat, seperti pamer salat dan zakat di hadapan banyak orang, sedang Allah swt. Mengetahui hatinya, jika tidak ada orang pasti tidak berbuat demikian. Ketiga, yang terendah, tidak riya’ dalam hal-hal fardhu, tetapi riya’ terhadap hal-hal yang sunnah. Seperti orang yang terlalu banyak amal sunnah, memperbaiki amal fardhunya, mengeluarkan zakat, dari harta terbaiknya, tahajjud, puasa hari Arafah dan Asyura’, sementara hatinya tidak demikian, jika sedang sendiri. Tindakan tersebut juga haram. Walaupun dosanya tidak sebesar riya’ terhadap iman dan hal-hal yang fundamental dalam agama.

Demikian dari segi derajat tujuan, seperti orang salat tanpa bersuci agar dilihat orang, atau puasa di hadapan khalayak, tetapi berbuka di kala sepi.
Kadang-kadang juga disandarkan pada motivasi ibadat. Dalam hal ini ada tiga tahapan:
Pertama, adakalanya, niat ibadat menjadi pendorong tersendiri apabila la berada dalam suasana sepi. Namun ketika dilihat banyak orang, semakin bersemangat. Dan amal tersebut semakin ringan dilakukan. Saya berharap, semoga kadar tersebut tidak menghapus pahala amalnya, tetapi ibadatnya sah dan semoga diberi pahala. Hanya saja sanksinya ada pada riya’nya semata, atau sekadar berkurang pahalanya.
Kedua, motivasi ibadatnya amat lemah, apabila tidak ada orang, tidak mampu melakukannya. Ibadat demikian tidak sah. Tujuan yang lemah tidak akan bisa menandingi kedahsyatan dosanya.
Ketiga, nilainya berimbang antara riya’ dan ibadat. Kondisi demikian bisa membuat yang lain baik, dan sebaliknya pihak yang baik bisa tercemar kerusakan.

Pada umumnya, yang terjadi apabila berimbang, seseorang tidak bisa selamat. Kenyataan ini cenderung dikatakan, “Apabila dua tujuan berimbang, yang satu akan meleburkan yang lain.”
Dan firman Allah swt. dalam hadis Qudsi, “Aku-lah Maha Kaya (sama sekali tidak membutuhkan) syirik,” menunjukkan bahwa Allah swt. tidak menerima dan memberi pahala amal berbau syirik. Bahwa pelakunya kelak disiksa, ada beberapa pandangan. Menurut saya -wallahu a’lam- la tidak lepas dari dosa dan siksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar