Sabtu, 10 Desember 2011

Urgensi Kewalian, Syeikh dan Murid

Makna Wali
Apakah artinya Wali?
Untuk mengenal makna Wali, ada dua titik pandang: Pertama, Wali ber-wazan: fa’iil, bentuk mubalaghah dari faa’il, seperti `aliim, qadiir, dan yang sejenisnya. Makna terminologinya adalah: Orang yang senantiasa berkompeten dalam ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan.

Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna maf’uul, seperti qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna majruuh. Jadi Wali berarti orang yang dilindungi oleh Allah swt. dengan menjaga dan membentenginya untuk selalu langgeng dan terus menerus dalam ketaatan. Maka, bagi Wali tidak dihiasai akhlak kehinaan yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Allah melanggengkan Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Allah swt. berfiman:
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Q.s. Al-A’raaf 196).



Ke-ma’shum-an Wali
Apakah Wali itu selalu terjaga dari dosa (ma’shum)?
Wali tidak harus bersyarat ma’shum, sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (mahfudz) agar tidak terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atau salah, maka sifat menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
Al-Junayd ditanya, “Apakah orang yang `arif itu pernah berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat kepalanya, sembari membacakan ayat, “Dan adalah ketetapan Allah itu, suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Q.s. Al-Ahzaab: 38).

Bila ditanyakan, “Apakah rasa takut itu gugur dalam diri para Wali?” Dijawab, “Pada umumnya, para Wali besar, rasa takut itu telah gugur. Dan apa yang kami katakan, jika rasa takut itu ada, amat jarang sekali terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.”

As-Sary as-Saqathy berkata, “Bila salah seorang memasuki kebun yang penuh dengan pohon-pohon lebat, masing-masing pohon itu ada burungnya, lantas burung itu mengucapkan salam dengan bahasa yang jelas,Assalamu’alaikum wahai Wali Allah,’ jika sang Wali tadi tidak takut bahwa salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar tertipu.”

Melihat Allah dengan Mata
Apakah dibenarkan melihat Allah di dunia dengan mata, jika ditinjau dari perspektif karamah?
Jawabnya, “Pandangan yang kuat menegaskan penglihatan tersebut tidak dibenarkan, karena telah disepakati oleh Ulama. Tetapi aku mendengar ucapan Imam Abu Bakr bin Furak r.a. yang meriwayatkan dari Musa al-Asy’ary, beliau berkata, `Bahwa masalah melihat Allah di dunia dengan mata, ada dua pendapat’.” UngkapanAbu Musa ini ada di dalam Kitab ar-Ru’yatul Kabiir.

Perubahan Kondisi Ruhani Para Wali
Apakah seseorang bisa menjadi Wali dalam suatu kondisi ruhani tertentu, kemudian pada tahap berikutnya kondisi ruhani itu berubah? Dikatakan, “Bagi orang yang menjadikan syarat kewalian itu harus adanya ketepatan kondisi ruhani, maka perubahan itu tidak diperbolehkan. Namun bagi yang berpandangan, bahwa dalam kondisi ruhani tersebut dia beriman secara hakiki-walaupun kondisi ruhani bisa berubah setelah itu - maka bisa saja ia adalah Wali dan orang yang benar dalam kondisi ruhani tertentu, yang kemudian kondisi ruhaninya berubah. Inilah pandangan yang kami pilih.”
Di antara bagian karamah-karamah Wali itu, antara lain dia mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi. Dan akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Dengan statemen ini, akan berpadu dengan ungkapan di atas, bahwa seorang Wali itu boleh mengetahui bahwa dirinya adalah Wali.

Wali dan Tipudaya yang Ditakuti
Apakah rasa takut akan tipudaya/cobaan dari Allah itu bisa hilang dari diri Wali?
Dijawab, “Bila dia sirna dari obyek penyaksinya, terlebur dari rasanya dalam kondisi ruhaninya, maka dia adalah orang yang tersirnakan dari tipudaya karena limpahan kewalian yang ada padanya. Sedangkan rasa takut itu adalah bagian dari sifat-sifat kehadiran diri mereka.”

Wali dalam Keadaan Sadar
Apakah kondisi umum yang dialami oleh para Wali dalam keadaan sadar?
Dalam keadaan sadar mereka selalu bersikap benar dalam menyampaikan Hak-hak Allah swt. Mereka selalu memiliki rasa kasih sayang, kepedulian terhadap sesama makhluk dalam berbagai situasi dan kondisinya. Rasa cinta kasihnya melebar kepada siapa saja, kemudian tanggung jawab mereka terhadap sesama makhluk yang dilakukan dengan penuh budi dengan sikap mengawalinya. Semata hanya untuk mendapatkan kebajikan Allah swt. untuk mereka, tanpa tendensi apa pun dari mereka: Para Wali selalu memiliki ketergantungan hasrat atas keselamatan makhluk; meninggalkan segala bentuk tindakan yang menyakitkan mereka; menjaga perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka; membatasi tangannya untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari berbagai arah terhadap apa yang menjadi milik mereka; mengekang ucapan mengenai keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian terhadap kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci terhadap siapa pun di dunia maupun di akhirat.

Ke-ma’shum-an Para Syeikh
Tidak seyogyanya murid meyakini bahwa para syeikh (guru ruhani).itu ma’shum (terjaga dari dosa). Seharusnya murid berhati-hati dengan tetap husnudzan kepada para syeikh. Menjaga diri bersama Allah swt. dalam batas-batas yang berkaitan dengan perintah dan ilmu, dengan sikap membedakan antara mana yang terpuji dan mana yang tercela.

Murid dan Harta Dunia
Setiap murid, yang di dalam hatinya masih tersisa kepentingan harta dunia, maka meraih harta tersebut diperbolehkan. Tetapi bila dalam hatinya masih ada ikhtiar terhadap hal-hal yang keluar dari hartanya, kemudian ia berharap agar bisa mengkhususkan dari harta itu untuk kebaikan, berarti si murid itu telah memaksa dirinya. Lebih bahaya lagi bila ia kembali secepatnya kepada dunia. Sebab tujuan murid adalah membuang ketergantungan (selain Allah swt.), yaitu keluar dari dunia, bukannya berupaya untuk kepentingan amal-amal kebajikan. Sangat tercela, bila murid keluar dari obyek harta dan modalnya, lantas dia sendiri justru menjadi tawanan pekerjaannya. Karena itu seyogyanya dia menyamakan sikapnya, baik harta itu ada ataupun tidak, sampai dirinya tidak terganggu bayang-bayang kemiskinan, tidak membuat orang lain gelisah, walaupun orang lain itu Majusi.

Penerimaan Syeikh pada Murid
Penerimaan hati syeikh terhadap murid, merupakan bukti paling benar atas kebahagiaannya. Bila seseorang ditolak oleh hati syeikh, maka tidak diragukan lagi, dalam beberapa waktu penolakan itu akan menjadi nyata.

Bergaul dengan Orang yang Banyak Bicara
Salah satu penyakit yang amat pelik dalam tharikat ini adalah bergaul dengan orang yang banyak bicara (omong kosong). Sebab hati akan disibukkan dengan persoalan makhluk. Padahal Allah swt. berfirman:
“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal di sisi Allah adalah perkara besar.” (Q.s. An-Nuur:15).

Fath al-Mushaly berkata, “Aku berguru kepada tiga puluh syeikh. Rata-rata mereka tergolong Wali Abdal.2 Semuanya berwasiat padaku
( ‘Abdal adalah golongan auliya’ yang saleh, dimana dunia tidak pernah sunyi dari mereka. Apabila salah seorang di antara mereka wafat, Allah swt. akan menggantikun posisi Abdal melalui orang yang diangkat-Nya. )

ketika aku berpisah dengan mereka, `Takutlah kalian bergaul dengan orang yang banyak obrolannya,’ kata para syeikh itu.”
Apa yang mereka ucapkan tentang berbagai keragu-raguan dan dongeng-dongeng dari orang tua, lebih baik kita turunkan tirai atas semua itu. Sebab cerita-cerita itu menjadi cermin kemusyrikan dan teman kekufuran. Na’udzubillahi Ta’ala dari datangnya keburukan.
Dengki
Di antara penyakit murid adalah hasrat yang memasuki nafsunya, berupa kedengkian terhadap sesama teman, dan merasa emosi atas keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. pada temannya dalam tharikat ini. Sementara dia sendiri tidak mendapatkan seperti yang diraih oleh yang lain. Ketahuilah, bahwa semua perkara itu telah dibagi oleh Allah swt. Hamba hanya bisa selamat, apabila si hamba lebih mencukupkan diri pada Wujud Allah swt. Yang Haq, dan menerima apa pun ketentuan dari Kemurahan dan Kenikmatan-Nya.

Prioritas
Ketahuilah, bahwa kewajiban murid apabila sudah sepakat terjun, harus memprioritaskan yang lain secara total dibanding diri sendiri. Baik orang yang lapar ataupun orang yang kenyang harus diprioritaskan, dibanding dirinya. Dia juga harus merasa menjadi murid setiap orang yang jelas sebagai syeikh, walaupun dia sendiri lebih pandai dari orang tersebut.

Gerak
Adapun etika murid dalam sama’, maka bagi murid tidak diperkenankan bergerak-gerak dalam sima’ yang muncul karena ikhtiarnya sendiri. Apabila muncul bisikan ruhani, sedangkan dirinya tidak mampu menahan gerak, maka sekadar ekspresi luapan bisikan yang menyebabkan gerak, masih ditolerir. Apabila luapan ruhani yang datang tadi sudah hilang, dia harus tetap duduk dan tenang. Apabila dia meneruskan gerak untuk menarik ekstase, tanpa adanya limpahan dan desakan/darurat, maka gerak dalam sima’nya tidak dibenarkan. Bila masih kembali demikian, berarti dia tidak mendapatkan keterbukaan hakikat.

Pergi dan Berpindah Tempat
Apabila murid diuji dengan pangkat kedudukan atau pergaulan omong kosong, serta mulai jatuh cinta pada wanita, sementara tidak ada syeikh yang menunjukkan jalan keluarnya, dia boleh pergi dan pindah tempat.
Di antara para syeikh berkata, “Bila seorang `arif berbicara mengenai ilmu pengetahuan, maka masa bodohkan dia: Sebab seharusnya seorang `arif mengkabarkan tentang tahapan-tahapan, bukan ilmu pengetahuan. Bagi yang ilmunya lebih dominan dibanding tahapan-tahapannya, maka dia adalah pakar ilmu, bukannya penempuh suluk.”
Peduli pada Para Fakir
Bila murid peduli membantu pada para fakir, maka hiburan hati mereka adalah rasa lapangnya terhadap murid. Karena itu tidak seyogyanya murid kontra terhadap kata hatinya, sehingga dalam berkhidmat pada kaum fakir harus benar-benar ikhlas, mencurahkan tenaganya semaksimal mungkin.

Sabar atas Celaan
Apabila murid memilih menjalani darma baktinya bagi orang-orang fakir, dia harus sabar dengan celaan orang banyak. Dia juga harus berbuat sepenuh jiwa dalam darma baktinya terhadap mereka.
Apabila mereka tidak memuji atas kepeduliannya, dia harus mencerca dirinya, agar hati para fakir itu lega. Walaupun dia mengerti bahwa dirinya sebenarnya tidak bersalah.
Bila orang-orang semakin mencacinya, dia harus menambah pengabdian dan kebaikan kepada mereka. Karena saya mendengar Imam Abu Bakr bin Furak berkata, “Bila engkau tidak sabar di atas palu, maka mengapa engkau menjadi landasan palu?”

Menjaga Adab Syariat
Didasarkan pula pada kaitan di atas, seorang murid harus menjaga adab syariat, menjaga tangannya untuk tidak meraih hal-hal yang haram dan syubhat, menjaga indera dari hal-hal yang diharamkan, menyertai nafas bersama Allah swt. dengan menjauhkan dari segala kealpaan, tidak menuangkan racun jiwa yang di dalamnya ada syubhat di bejana darurat. Apalagi di waktu-waktu yang bebas dan luang untuk ikhtiar.
Di antara perilaku murid adalah melanggengkan mujahadah dalam meninggalkan syahwat. Siapa yang bersesuaian dengan syahwatnya, akan sirna kesuciannya. Perilaku terburuk bagi murid justru ketika dia kembali lagi kepada syahwat yang pernah ditinggalkan.

Menjaga Janji dengan Allah Swt.
Bagi murid harus menjaga janji bersama Allah swt. Apabila ia merusak janji di jalan cita-cita, la sebanding dengan murtad dari agama, bagi kalangan ahli dzahir. Bagi seorang murid seyogyanya tidak berjanji dengan Allah swt. terhadap segala hal dengan ikhtiar dan kemauannya sendiri. Sebab, dalam keharusan-keharusan syariat, ada sesuatu yang harus dipenuhi semaksimal mungkin. Allah swt. berfirman, “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memelihara dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Q.s. Al-Hadiid;27)

Menjauhi Penghamba Duniawi
Di antara perilaku murid, hendaknya menjauhkan diri dari penghamba dunia. Bergaul dengan mereka adalah racun yang mematikan. Karena mereka menyerap potensi murid, sedangkan jiwa murid semakin berkurang bersama mereka. “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya.” (Q.s. Al-Kahfi: 28).
Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari kantongnya demi taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan -ahli tasawuf mengeluarkan makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama Allah swt. - Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar