Selasa, 06 Desember 2011

Hakikat Ilmu

Syeikh Abul Hasan Asy-Asyadzily ra.
Aku melihat seakan-akan diriku berada di hadapan Allah Azza wa-Jalla, lalu Dia berfirman: “Janganlah engkau merasa aman dari makarku

sedikitpun walaupun Aku menjaminmu. Sebab ilmu-Ku tidak bisa dijangkau oleh orang yang menjangkau. Demikian pula kondisi mereka. Janganlah engkau menoleh pada ilmu, amal dan pertolongan. Jadikan dirimu bersama-Ku dan bagi-Ku dalam seluruh (ilmu, amal, pertolongan) selamanya.”

Janganlah engkau sebarkan ilmumu agar engkau dibenarkan oleh manusia. Namun sebarkanlah ilmumu agar Allah membenarkan dirimu, walaupun ada sebab yang mencercamu. Maka sebab yang ada diantara dirimu dan Allah dimana datangnya dari arah perintah-Nya kepadamu itu lebih baik bagimu daripada sebab yang ada diantara dirimu dan manusia, dari sisi, dimana Allah melarangmu.

Suatu sebab yang engkau bisa kembali kepada Allah lebih baik dari sebab yang memutuskan dirimu dengan Allah. Untuk tujuan itulah Allah mengaitkan dirimu dengan pahala dan siksa. Sebab tak ada yang diharapkan dan ditakuti kecuali dari sisi Allah. Allah cukup sebagai Pendamping dan Pembenar.
Hendaknya engkau selalu bersama Allah sebagai orang yang alim dan pengajar. Cukuplah Allah sebagai Penunjuk, Penolong dan Kekasih. Yakni Penunjuk yang memberi petunjuk padamu, dan menunjukkan bersamamu dan kepadamu; Penolong yang menolongmu, menolong bersamamu dan tidak menolong yang membuatmu sengsara; sebagai Kekasih yang mengasihimu, mengasihi bersamamu dan tidak mengasihi yang mencelakakanmu.

Ilmu-ilmu ini mengandung beberapa firasat dan penjelasan dalam obyek-obyek jiwa, dalam bisikan-bisikan, cobaan dan kehendak jiwa. Hati, harus melakukan analisa, penentraman dan pendasaran menurut jalan tauhid dan syariat, dengan kejernihan mahabbah dan keikhlasan demi agama dan sunnah.
Setelah itu, mereka mendapatkan tambahan-tambahan dalam tahap-tahap yaqin: berupa zuhud, sabar, syukur, harapan, ketakutan, tawakkal, ridha dan sebagainya, dari tahap-tahap yaqin. Inilah jalan para penempuh amal bagi Allah.

Sedangkan Ahlullah dan kalangan khusus-Nya, adalah kaum yang ditarik dari keburukan dan prinsip-prinsipnya. Mereka diperamalkan untuk kebajikan dan cabang-cabangnya. Mereka dicintakan untuk khalwat, dan dibukakan pintu jalan munajat. Allah memperkenalkan diri pada mereka, sehingga merekapun kenal Dia. Allah memberikan kecintaan kepada mereka sehingga mereka mencintai-Nya.

Allah menunjukkan jalan dan mereka menempuh jalan itu. Mereka selalu bersama-Nya dan bagi-Nya. Mereka tidak dibiarkan untuk yang lain-Nya, dan mereka tidak ditutupi dari-Nya. Namun justru mereka tertutup —bersama-Nya— dari selain-Nya. Mereka tidak mengenal selain Dia dan tidak pula mencintai selain Dia. ”Mereka adalah orang-orang yang oleh Allah diberi petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang memiliki hati nurani.”



Aku pernah melihat Nabi saw. bersama Nuh as, dan seorang Malaikat ada diantara beliau berdua. Lalu Nabi saw, bersabda, ”Seandainya Nuh mengetahui kaumnya sebagaimana Muhammad —‘alaihis shalatu wassalam— mengetahui kaumnya, tentu Nuh tidak akan berdoa atas kaumnya, dengan ucapannya, “Tuhanku, janganlah engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Q.s. Nuh: 26-27). Inilah posisi ilmu hakiki yang tidak bisa dirubah.



Seandainya Muhammad —‘alaihis shalatu wasssalam— mengetahui kaumnya sebagaimana pengetahuan Nuh —‘alaihis salam— ia tidak akan menangguhkan sekejap mata pun, tetapi ia mengetahui bahwa dalam tulang punggung mereka ada orang yang beriman kepada-Nya dan menyiapkan (diri) untuk bertemu Tuhan-Nya, — lalu Nabi saw. bersabda, — “Ya Allah ampunilah dosa kaumku, sebab mereka sesungguhnya tidak mengetahui.”

Semua di dasarkan pengetahuan dan bukti dari Allah. Maka setiap masing-masing harus menetapi apa yang ada dari do’a. Kemudian Nabi saw. bersabda, “Bukankah demikian?” Mereka berdua menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa memerangi diri sendiri, hawa nafsunya, syetan dan syahwatnya serta dunianya, lantas ia kalah, berarti ia tertolong dan diberi pahala. Dan barangsiapa memerangi semua itu, lalu ia kalah ia tergolong diampuni dan diterima syukurnya, sepanjang tidak terus menerus berbuat dosa, atau rela pada aib, atau gugur dalam rasa ketakutan dalam batin. Barang siapa berada dalam salah satu tiga kategori di atas dan ia tahu bahwa ia punya Tuhan Yang Maha Pengampun dosa dan menyiksa akibat dosa itu, serta ia iman terhadap seluruh qadar dan takut dari dosanya, merasa takut kepada Tuhannya, maka rahmat akan datang lebih cepat kepadanya dibanding tetes hujan yang jatuh ke bumi-Nya.” Dan Allah pun berfirman, ”Yang paling Kukasihi pada hamba-Ku, manakala ia usai menghadap-Ku, dan paling agung di sisi-Ku jika hamba-Ku menghadap pada-Ku.”

Sementara orang yang hancur adalah orang yang bergembira dengan maksiatnya manakala diberikan peluang padanya, dan susah gelisah manakala ia tidak bermaksiat. Ia merasa bangga dengan tindakan maksiat itu, dan tidak mau menutupinya. Maka kita mohon perlindungan dari Allah, dan ia berada dalam kehendak Allah.

Hakikat ilmu itu disebut baik manakala ia tenteram dalam kebajikan ilmu. Sedangkan hakikat ilmu itu disebut buruk manakala, ia keluar dari ilmu itu. Ilmu itu bagi hati ibarat dirham-dirham dan dinar-dinar di tangan. Bisa bermanfaat bagimu bisa pula membahayakanmu.

Ada tujuh kategori, hendaknya hatimu engkau hindarkan dari tujuh perkara itu:
1) Tak ada ilmu dan,
2) tak ada amal,
3) tak ada keistmewaan,
4) dan tak ada titipan ruhani,
5) tak ada tempat-tempat singgah jiwa,
6) dan tak ada bisikan-bisikan ruhani,
7) tak ada hakikat-hakikat yang bisa menyelamatakan dirimu dari takdir Allah swt.
Ilmu yang hakiki adalah ilmu yang tidak dicampuri oleh kontradiksi dan bukti-bukti yang menafikan contoh dan keraguan, sebagaimana Ilmu Rasul saw, Ilmu orang yang benar, serta ilmu Wali. Siapa pun yang memasuki medan tersebut ibaratnya seperti orang yang tenggelam dalam samudera, kemudian ia ditelan oleh ombak, lalu kontradiksi manakah yang muncul (dalam situasi seperti itu) yang bisa didapatkan, dicampurkan, didengar atau dilihat. Sedangkan siapa yang tidak memasuki medan tersebut ia sangat membutuhkan ayat “Tiada satu pun yang menyamai-Nya”.

Jika engkau bermajlis dengan para Ulama, janganlah bicara dengan mereka kecuali dengan ilmu-ilmu Naqliyah dan riwayat hadits yang shahih. Bisa jadi engkau memberi manfaat terhadap mereka atau sebaliknya engkau bisa meraih manfaat dari mereka. Itulah keuntungan terbesar dari mereka.

Namun, jika engkau bermajlis dengan para ahli ibadah dan ahli zuhud, maka duduklah dengan mereka di atas tikar zuhud dan ibadah. Itu membuat mereka mudah memberikan solusi atas lintasan ketetapannya dan membuat mudah apa yang menjadi kesulitannya, serta rasa kema’rifatan mereka sepanjang mereka belum merasakannya.

Apabila engkau bermajlis dengan kaum Shiddiqin, maka pisahkan apa yang engkau ketahui, maka engkau akan mendapatkan ilmu yang terpendam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar