Sabtu, 10 Desember 2011

Karamah Para Wali

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan. Dalil atas perkenannya: bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar prinsipal agama.

Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. Adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.



Munculnya karamah merupakan tanda dari kebenaran orang yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak benar, maka kemunculan seperti karamah tersebut tidak diperkenankan. Hal yang menunjukkannya, bahwa definisi sifat Al-Qadim bagi Allah swt. sudah jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekulatif. Pembedaan itu tidak bisa dilakukan kecuali melalui keistimewaan Wali. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mendakwakan diri secara gegabah. Perkara tersebut tidak lain adalah karamah itu sendiri, sebagaimana kami isyaratkan.

Karamah tersebut mengharuskan adanya perbuatan yang kontra adat kebiasaan, pada masa-masa taklif, yang muncul dengan sifat-sifat kewalian dalam pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.

Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan adanya perbedaan antara karamah dengan mu jizat. Imam Abu Ishaq al-Isfirayainyrahimahullah ta’ala - berkata, “Mu`jizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi. Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yang menunjukkan jatinya sebagai ‘ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memiliki ilmu pengetahuan.” Dia juga menegaskan, “Para Wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu dikategorikan jenis mu`jizat bagi para Nabi, itu tidak benar.”

Imam Abu Bakr bin Furak -rahimahullah- berkata, “Mu`jizat merupakan bukti-bukti kebenaran (para Nabi). Dan yang mendapatkan mujizat mengumandangkan nubuwwatnya. Mu`jizat menunjukkan kebenaran dalam ucapannya. Apabila pemiliknya menunjukkan pada kewalian, mu’jizat tersebut menunjukkan kebenarannya dalam kondisi ruhani si pemilik. Maka yang terakhir ini disebut karamah. Tidak disebut mu`jizat, walaupun karamah tersebut sejenis dengan mu`jizat. Namun ada perbedaan.

Di antara perbedaan-perbedaan mu’jizat dan karamah, bahwa mu’jizat itu diperintahkan untuk disebarluaskan. Sementara pada Wali, harus menyembunyikan dan menutupi karamah. Nabi - shalawat dan salam Allah semoga melimpah padanya - mendakwahkannya, dengan memastikan kebenaran ucapannya. Sedangkan Wali tidak mendakwahkannya, juga tidak memastikan melalui karamahnya. Sebab bisa jadi hal itu merupakan cobaan.

Salah seorang tokoh di zamannya, Qadhi Abu Bakr al-Asy’ary, berkata, “Mu jizat itu tertentu bagi para Nabi, dan karamah khusus bagi para Wali, sebagaimana mu`jizat khusus bagi para Nabi. Bagi para Wali tidak ada mu jizat. Sebab salah satu syarat dari mu`jizat adalah disertai dengan dakwah kenabian yang didasarkan mu`jizat tersebut. Mu`jizat sendiri tidak dikatakan sebagai mu`jizat dilihat dari kenyataannya. Tetapi, menjadi mu`jizat karena adanya sifat-sifat yang mendukungnya. Apabila salah satu syarat saja cacat, tidak dikategorikan mu`jizat. Salah satu syarat mu`jizat adalah dakwah kenabian. Sedangkan Wali tidak mendakwahkan Kenabian. Dan yang muncul dari wali tidak disebut sebagai mu`jizat. Ungkapan inilah yang kami pegang, kami yakini dan kami patuhi. Syarat-syarat mu jizat secara keseluruhan atau lebih, ada dalam syarat-syarat karamah, kecuali satu syarat di atas. Sedangkan karamah adalah suatu kejadian, yang tidak mustahil adalah baru. Sebab sesuatu yang bersifat Qadim, tidak dikhususkan pada seseorang. Sifat karamah adalah kontra terhadap adat kebiasaan, muncul pada masa taklif, dan pada seorang hamba sebagai keistimewaan dan keutamaan. Kadang-kadang karamah diperoleh melalui ikhtiar dan doanya, kadang-kadang usaha dan doa tersebut tidak bisa mendapatkan karamah. Kadang pula muncul di luar ikhtiarnya pada waktu-waktu tertentu. Seorang Wali tidak diperintahkan meminta doa orang lain bagi dirinya. Kalau toh pun muncul semacam itu, dan memang memiliki kapasitas yang sesuai, maka doa itu diperbolehkan.” Ahli hakikat berbeda pandang mengenai Wali: apakah dia boleh mengetahui atau tidak, bahwa dirinya itu seorang Wali?

Imam Abu Bakr bin Furak r.a. berkata, “Tidak boleh seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, sebab dengan begitu, ia harus menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berpendapat atas kebolehannya. Pandangan inilah yang kami pilih dan kami prioritaskan. Tetapi hal itu tidak menjadi keharusan bagi semua Wali, sehingga setiap wali harus mengetahui bahwa dirinya itu Wali. Namun masing-masing di antara mereka boleh mengenalnya sebagai Wali, sebagaimana masing masing diperbolehkan untuk tidak mengenal mereka. Apabila sebagian di antara mereka ada yang mengetahui bahwa salah seorang di antara ada yang Wali, maka pengetahuannya itu tergolong sebagai karamah yang dimilikinya. Namun tidak semua karamah bagi wali itu dengan kenyataannya harus merata bagi semua Wali. Bahkan kalau toh seorang Wali tidak mempunyai karamah yang muncul di dunia, ia tidak tercela sebagai Wali. Berbeda dengan para Nabi, mereka wajib mempunyai mu`jizat. Sebab Nabi diutus untuk dakwah kepada makhluk. Manusia membutuhkan atas kebenarannya, dan tentu tidak bisa diketahui kecuali melalui mu’jizat. Sementara Wali tidak diwajibkan berdakwah melalui karamahnya kepada makhluk. Begitu pula tidak harus setiap Wali itu mengetahui bahwa dirinya adalah Wali. Sepuluh orang sahabat,’ membenarkan sabda Rasulullah saw sebagaimana disebut dalam hadits, sebagai ahli surga.

Sedangkan pendapat mereka yang tidak memperkenankan seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, dikhawatirkan ia harus keluar dari rasa takut. Sebenarnya tidak berbahaya bila mereka takut adanya perubahan akibat-akibat. Dan apa yang mereka temui dalam hati mereka, dari rasa takut dengan penuh hormat, ta’dzim dan pengagungan kepada Allah swt, justru menambah dan meningkatkan banyak rasa takutnya.

(Para sahabat mengetahui, bahwa mereka adalah Wali-wali Allah swt. Dan ummat Islam bersepakat atas keutamaan mereka)

Ketahuilah, seorang Wali tidak ada yang bertumpu pada karamah yang muncul pada dirinya. Bagi mereka juga tidak harus berupaya mendapatkan karamah. Kadang-kadang yang muncul adalah nuansa sejenis karamah, seperti: Keyakinan yang kuat dan mata hati yang bertambah, semata karena pembenaran mereka bahwa semua itu adalah kreasi Allah swt. Sehingga mereka lebih bertumpu pada keshahihan akidah mereka.

Secara keseluruhan, bahwa kewenangan munculnya karamah bagi para Wali merupakan hal yang tidak bisa diragukan. Para jumhur ahli ma’rifat juga berpandangan demikian, disamping banyaknya hadis dan hikayat yang menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas kebolehan munculnya karamah tersebut sebagai pengetahuan yang kuat yang tidak bisa diragukan. Hal-hal yang muncul dari kaum Sufi dan hikayatnya dikenal banyak orang, apalagi kisah-kisah mereka, sama sekali tidak meninggalkan keraguan secara global.

Dalil-dalil atas semua itu ditegaskan oleh Al-Qur’an, dalam suatu kisah sahabat Nabi Sulaiman as. (Ashif) ketika mengatakan, Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelurn matamu berkedip. “ (Q.s. An-Naml: 40). Padahal sahabat Sulaiman as. ini bukan termasuk seorang Nabi.

Sedangkan sebuah atsar datang dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a., ketika sedang berkhutbah Jum’at tiba-tiba berkata, “Wahai para pasukan! Tetap saja kalian di bukit itu, dan naik1ah ke bukit itu!” Umar meneriakkan perintahnya dan didengar pula oleh para tentara Islam yang sedang bertempur, sehingga mereka dapat menjaga diri dari tipudaya musuh dari arah bukit saat itu pula.

Bila ditanyakan, “Bagaimana diperbolehkan menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di atas mu`jizat-mu jizat para Rasul? Apakah boleh mengutamakan para Wali ketimbang para Nabi -semoga Allah swt. melimpahkan salam-Nya?”

Jawabnya, “Karamah-karamah tersebut bertemu dengan mu’jizat Nabi kita Muhammad saw. Sebab setiap orang yang tidak benar Islamnya, karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi yang salah satu di antara ummatnya muncul karamahnya, maka karamah itu tergolong mu`jizat Nabi tersebut. Sebab kalau tidak karena kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul dari pengikutnya. Sedangkan derajat para Wali tidak mencapai derajat para Nabi -alaihis salam - karena adanya ijma’ atas perkara tersebut.

Abu Yazid al-Bisthamy ditanya mengenai masalah ini, jawabnya, “Perumpamaan yang diperoleh para Nabi - semoga Allah swt. melimpahkan salam kepada mereka - ibarat tempat air (geriba) yang di dalamnya ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu tetes itu, sepadan dengan apa yang ada pada seluruh para Wali. Sedang geribanya adalah ibarat Nabi kita Muhammad saw”



Karamah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Ketahuilah bahwa karamah-karamah paling agung bagi para Wali adalah, kelanggengan taufiq untuk selalu taat kepada Allah saw, terjaga dari maksiat dan segala hal yang menyimpang. Sahl bin Abdullah meriwayatkan, “Siapa yang zuhud di dunia selama empat puluh hari, dengan niat yang benar dari hatinya dan ikhlas, maka dia akan ditampakkan karamahnya. Namun jika tidak muncul karamahnya, semata karena zuhudnya tidak benar.” Maka Sahl ditanya, “Bagaimana karamah tersebut muncul bagi orang tersebut?” Sahl menjawab, “Dia mengambil sekehendaknya, sebagaimana dia berkehendak dan kapan saja ia berkehendak.”

A. Karamah yang disebut dalam Al-Qur’an:

(1) Al-Qur’an banyak menyebutkan contoh soal karamah yang muncul dari para Wali. Kami sebutkan, diantaranya firman Allah swt. tentang Maryam as, dan beliau bukan termasuk Nabi ataupun Rasul:

“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini?’Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Q.s. Ali Imran: 37).

Firman-Nya pula:

“Dan goyanglah pangkal pohon itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Q.s. Maryam: 25).

(2) Kisah Ashhabul Kahfi dan sejumlah keajaiban yang muncul, seperti anjing yang berbicara dengan mereka.

(3) Kisah Dzulqarnain, dan kompetensi yang diberikan oleh Allah swt. yang tidak diberikan kepada orang lain.

(4) Hal-hal yang muncul dari tangan Khidhr as, yakni perkara-perkara yang berbeda dengan adat kebiasaan, dimana hanya Khidhr yang mampu. Beliau bukan Nabi, tetapi Wali.



B. Karamah yang disebut dalam As-Sunnah:

(1) Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw yang bersabda, “Tak seorang pun berbicara ketika masih dalam ayunan, kecuali tiga bayi: lsa bin Maryam, bayi di masa Juraij, dan seorang bayi lain.”

Juraij adalah seorang hamba yang taat di masa Bani Israil. Dia punya seorang ibu. Suatu hari dia shalat, tiba-tiba ibunya memanggil, “Juraij!” panggil si ibu. “Tuhan, apakah aku meneruskan shalat atau memenuhi panggilan ibu?” kata Juraij dalam hatinya. Namun Juraij tetap saja shalat, dan panggilan ibunya terulang lagi. Juraij pun tetap saja shalat lagi. Kemudian ibunya merasa jengkel, lantas berdoa, “Ya Allah, jangan kau ambil nyawa Juraij hingga wajah seorang pelacur Engkau tampakkan di hadapannya.”

Di sana ada seorang pelacur di zaman Bani Israil. Pelacur ini berkata pada banyak orang, “Aku akan menggoda Juraij hingga ia mau berzina.” Pelacur itu pun mendatangi tempat Juraij, namun gagal menggodanya.

Di dekat surau Juraij ada seorang penggembala yang biasa tidur di dekat suraunya. Ketika Juraij menolak tawaran sang pelacur, pelacur itu beralih merayu si penggembala. Dan penggembala itu pun mau menyetubuhinya. Akhirnya pelacur itu hamil. Ketika melahirkan, orang-orang menanyakan anak siapa gerangan? Pelacur itu menjawab, “Ini anaknya Juraij.” Lalu kaum Bani Israil mendatangi suraunya, merobohkan dan memaki-maki Juraij.

Ketika itu Juraij sedang shalat, lantas berdoa kepada Tuhannya, dan mendekati si bocah, “Hai bocah, siapa ayahmu?” tanya Juraij. Bocah itu menjawab, “Ayahku adalah penggembala.”

Kaum Bani Israil sangat menyesali tindakannya, dan merninta maaf pada Juraij. Mereka mengatakan pada Juraij, “Kami akan membangun kembali suraumu.” Namun Juraij menolaknya, dan dia bangun sendiri seperti bangunan semula.

(2) Hadits tentang gua: Rasulullah saw bersabda, “Tiga laki-laki dari orang-orang terdahulu sebelum kalian berangkat pergi. Mereka akhirnya harus menginap, dan masuk ke dalam gua. Tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit menggelincir, sehingga menutup piritu gua. Mereka berkata, ‘Demi Allah, kita tidak bisa selamat dari batu besar ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah lantaran amal-amal kita yang saleh.’

Salah seorang di antara mereka berkata, Aku mempunyai dua orangtua yang sudah sama-sama tua. Aku tidak pernah minum lebih dahulu, juga keluargaku sebelum keduanya. Suatu hari aku disibukkan pekerjaan, sampai aku tidak datang di waktu sore. Ketika pulang, keduanya tertidur. Lantas aku membuat susu untuk minuman sore bagi keduanya: Ketika kuhidangkan untuk mereka, ternyata keduanya telah tidur pulas. Aku merasa bersalah jika membangunkan mereka, dan aku tidak ingin meminumnya sebelum keduanya minum. Aku hanya bisa berdiri, sementara tempat minuman ada di tanganku, sambil menunggu bangunnya mereka berdua, hingga fajar hari tiba. Keduanya pun bangun, lalu meminum minuman sore itu.

Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata hanya untuk Diri-Mu, maka bukakanlah kami, dari kesulitan di dalam gua ini.’ Lalu batu itu pun bergeser sedikit, namun belum memberi peluang mereka untuk keluar.

Orang kedua berkata, ‘Ya Allah, aku punya adik misan/anak perempuan paman yang paling kucintai. Suatu ketika aku merayu dirinya, namun dia menolak, sampai akhirnya aku sangat sedih selama setahun. Suatu ketika dia datang padaku, dan kuberi seratus duapuluh dinar, dengan syarat ia mau untuk berduaan saja antara diriku dengan dirinya. Maka kami pun berduaan. Ketika aku menguasai dirinya (ingin menyetubuhi), dia berkata, ‘Bagimu tidak halal memecah cincin, kecuali yang berhak.’ Maka aku merasa berdosa untuk menyetubuhinya, dan aku pergi meninggalkannya. Padahal dia adalah gadis yang paling kucintai. Sementara kutinggalkan uang yang telah kuberikan padanya. Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalamgua ini.’Lalu batu itu bergeser lagi, namun mereka masih belum mampu keluar dari pintu gua.

Kemudian orang ketiga berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempekerjakan para pekerja, kemudian aku telah memberikan upah mereka semuanya, kecuali seseorang di antara mereka, yang pergi begitu saja. Namun upah itu aku simpan dan kukembangkan. Suatu saat dia datang padaku, sambil berkata, ‘Hai Abdullah, mana upahku itu.’ Kujawab, ‘Upahmu itu adalah semua yang kau lihat ini, antara lain unta, kambing, sapi dan budak itu.’ Dia berkata, ‘Hai Abdullah kamu jangan menghinaku!’ Aku katakan, Aku tidak menghinamu.’ Lantas kuceritakan kisahnya, dan akhirnya semuanya diambil dan digiringnya, tidak disisakan sama sekali. Ya Allah, apabila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini.’ Batu itu bergeser lagi. Mereka pun akhirnya bisa keluar dari gua.” Hadis ini termasuk hadis shahih yang muttafaq ‘alaih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar