Selasa, 06 Desember 2011

Kejujuran (as-Shidq)

Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Ja’far al-Khuldi — rahimahullah — telah memberitahu saya, bahwa mendengar al-Junaid yang berkata, “Barangsiapa mencari sesuatu dengan

kejujuran dan bersungguh-sungguh tentu akan mendapatkannya. Dan seandainya tidak mendapatkan seluruhnya maka akan mendapat sebagiannya.”

Abu Said al-Kharraz — rahimahullah — berkata: Saya bermimpi seakan-akan saya melihat dua malaikat turun dari langit lalu berkata kepada saya, “Apakah kejujuran itu?” Maka saya menjawab, “Menepati janji.” Mereka kemudian berkata, “Anda benar.” Kemudian mereka naik lagi ke langit dan saya masih dapat melihatnya.

Yusuf bin al-Husain — rahimahullah — berkata, “Menurut hemat kami, kejujuran adalah cinta menyendiri, bermunajat kepada Allah, kecocokan antara yang tersembunyi dengan yang lahir disertai dengan kejujuran berbicara, sibuk mengurus diri sendiri tanpa melihat orang lain, menuntut ilmu serta mengamalkannya dalam tata cara makan, adab berpakaian dan mencari rezeki.” Hakim pernah ditanya, “Apa ciri-ciri orang yang jujur?” Maka ia menjawab, “Menyembunyikan ketaatan.” Kemudian ia ditanya lagi, “Apa yang paling menyenangkan hati orang-orang yang jujur?” Ia menjawab, “Menghirup udara segar ampunan Allah dan berbaik sangka kepada Allah swt.”

Dzun-Nun — rahimahullah — berkata, “Kejujuran adalah pedang Allah di bumi. Setiap kali diletakkan pada sesuatu tentu akan memotongnya.”

Al-Harits al-Muhasibi — rahimahullah — ditanya tentang kejujuran, maka ia menjawab, “Kejujuran adalah yang disertakan pada seluruh kondisi spiritual.”

Al-Junaid — rahimahullah — berkata, “Hakikat kejujuran akan berlaku sesuai dengan ketentuan Allah dalam semua kondisi.”

Abu Ya’qub — rahimahullah — berkata, “Kejujuran adalah kecocokan al-Haq dalam rahasia maupun lahiriah. Sedangkan hakikat kejujuran ialah berkata tentang kebenaran dalam
posisi-posisi yang mematikan.”

Sementara kaum Sufi yang lain ditanya tentang kejujuran, maka ia menjawab, “Benarnya menghadap pada tujuan.”


Asas Madzhab kaum Sufi
Dikisahkan dari al-Junaid — rahimahullah — yang mengatakan, “Para ahli ilmu telah sepakat, bahwa pokok-pokok ajaran madzhab mereka ada lima perkara: puasa siang hari, bangun malam, ikhlas dalam beramal, selalu mengawasi amal perbuatannya dengan perhatian yang terus-menerus dan bertawakal kepada Allah swt. dalam segala kondisi.”

Dikisahkan dari Abu Utsman, yang mengatakan, “Landasan dasar kami adalah diam dan merasa cukup dengan ilmu Allah Azza wajalla.”

Al-Junaid — rahimahullah — berkata, “Kekurangan dalam berbagai kondisi spiritual merupakan cabang (furu’) yang tidak membahayakan. Namun yang berbahaya adalah tertinggal dalam kondisi spiritual pokok-pokok ajaran Sufi sekalipun hanya sebesar atom. Sehingga ketika pokok-pokok ajaran Sufi sudah kuat, maka kekurangan yang ada pada cabang tidak akan berbahaya.”

Abu Ahmad al-Qalanisi — rahimahullah — mengatakan, Pokok-pokok ajaran madzhab kami dibangun atas tiga dasar:

(1) Tidak meminta orang lain memenuhi hak kami
(2) Menuntut diri kami sendiri untuk memenuhi hak-hak orang lain
(3) Memastikan diri kami selalu terjadi kekurangan dalam segala yang kami lakukan.

Sahi bin Abdullah — rahimahullah — berkata,
Pokok-pokok ajaran kami ada tujuh perkara:
(1) Berpegang teguh dengan Kitab Allah
(2) Mengikuti jejak Rasulullah saw
(3) Makan makanan yang halal
(4) Tidak menyakiti orang lain
(5) Menjauhi segala perbuatan keji
(6) Bertobat dan
(7) Menunaikan hak-hak orang lain

Saya mendengar al-Hushri — rahimahullah — berkata, “Pokok-pokok ajaran kami ada enam:
(1) Menghilangkan hadast
(2) Menauhidkan al-Qidam (Allah)
(3) Mengasingkan diri dari teman
(4) Meninggalkan tanah air
(5) Melupakan apa yang telah diketahui dan
(6) Melupakan apa yang belum diketahui.

Sebagian kaum fakir (Sufi) mengatakan, Pokok-pokok ajaran kami ada tujuh:
(1) Menunaikan fardhu (kewajiban)
(2) Menjauhi hal yang diharamkan
(3) Memutuskan keterkaitan dengan makhluk
(4) Merangkul kefakiran
(5) Tidak mencari
(6) Tidak menyimpan untuk waktu berikutnya
(7) Mencurahkan segalanya hanya untuk Allah dalam seluruh waktunya.

Ikhlas
Al-Junaid — rahimahullah — ditanya tentang ikhlas, maka ia menjawab, “Anda tidak melihat dari fana dan perbuatan Anda.”

Ibnu ‘Atha’ mengatakan, “Ikhlas adalah sesuatu yang Anda bisa selamat dari bencana.”

Al-Rants al-Muhasibi — rahimahullah — berkata, “Ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dan bermuamalah dengan Allah swt. Sementara nafsu (jiwa) adalah makhluk pertama.”

Dzun-Nun — rahimahullah — berkata, “Ikhlas ialah sesuatu yang bisa selamat dari musuh yang bisa merusaknya.”

Abu Ya’qub as-Susi — rahimahullah — berkata, “Ikhlas ialah sesuatu yang tidak diketahui oleh malaikat sehingga ia mencatatnya, atau diketahui oleh musuh sehingga merusaknya dan dirinya tidak merasa kagum dengannya.”

Dikisahkan dari Sahi bin Abdullah — rahimahullah — yang mengatakan, “Orang Islam (yang mengucapkan Ia ilaaha iIIal-lah) itu banyak, namun sedikit sekali di antara mereka yang ikhlas.”

Sahi bin Abdullah mengatakan, “Tidak akan mengetahui riya’ kecuali orang yang ikhlas.”

Lain kali al-Junaid ditanya tentang ikhlas, maka ia menjawab, “Ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dan bermuamalah dengan Allah swt. Sementara nafsu (jiwa) adalah makhluk pertama.”

Dan sebagian guru Sufi yang mengatakan, “Jika ada seseorang bertanya, apa ikhlas itu?” Maka jawablah, “Menyatukan tujuan hanya kepada Allah dan mengeluarkan makhluk dan muamalah dengan Allah Azza wajalla dengan meninggalkan upaya dan kekuatan bersama Allah Azza wajalla.”

Sementara itu ciri orang yang ikhlas adalah lebih suka berkhalwat untuk bermunajat kepada Allah swt., kurang mengenal makhluk dengan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak suka diketahui makhluk dalam bermuamalah dengan Allah swt.

Dan barangkali Abu al-Husain an-Nun yang pernah ditanya tentang ikhlas, kemudian ia menjawab, “Tidak kompromi dengan makhluk.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar