Minggu, 02 Desember 2012

Makna dan Hakikat Do'a

“Bagaimana mungkin permintaanmu yang baru datang belakangan akan bisa mengubah anugerahNya yang terdahulu?” Inilah ketegasan tauhid kita untuk memahami hubungan antara doa dan takdir. Banyak para hamba Allah Swt yang merasa ada kontradiksi yang mempengaruhi batin mereka, gara-gara belum tuntasnya antara ikhtiar, doa dan takdir. Dengan sejumlah pertanyaan, apakah takdir itu bisa diubah dengan doa dan usaha? Kalau bisa berarti Allah Swt tergantung pada hambaNya. Kalau tidak bisa apakah makna dibalik perintah doa dan ikhtiar itu? Dalam bahasa Sufistik, soal ikhtiar, doa dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya. Bahwa secara hakikat, upaya dan doa itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir, dan tidak akan mengubah takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah Swt, dengan semua ketentuanNya telah mendahului ikhtiar dan doa kita. Bagaimana mungkin, sesuatu yang baru (berupaya upaya dan doa kita) bisa mengubah sesuatu yang mendahului (ketentuan Allah Swt)? Jadi cara memahami hakikat doa dan ikhtiar adalah: Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir. Bila Allah Swt hendak memberi anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdoa dan berikhtiar. Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda takdir itu sendiri. Allah memerintahkan kita berupaya dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya, sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita siap menyongsong takdirNya. Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia, dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdoa dan beriktiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaikNya. Bukannya berdoa untuk memaksaNya mengubah takdirNya. Maka Ibnu Athaillah menegaskan dengan ucapan beliau:“Maha Besar (jauh) bila hukum AzaliNya harus disandarkan pada sebab akibat yang baru.” Allah Swt adalah sebab segalanya. Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah Swt tidak pernah menjadi akibat; seperti akibat kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau, akibat kita berusaha Allah mengubah takdirNya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu. Berdoa kita lakukan semata untuk ‘ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika kita berdoa. Sebab dengan berdoa manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya dan merasa lemah di hadapanNya. Dan itulah hakikat ubudiyah dibalik doa, agar kita tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah, mulia bersamaNya, mampu bersamaNya, kuat bersamaNya. Wallahu A’lam.

Selasa, 05 Juni 2012

Adab Berdzikir (2)

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani Mereka juga sepakat, bahwa wajib bagi seorang murid untuk berdzikir dengan keras sekuat mungkin. Sebab dzikir secara pelan (sirri) dan lemah lembut tidak akan memberi manfaat kepada sang murid untuk bisa naik ke tingkatan yang lebih tinggi. Mereka mengatakan: Wajib bagi seorang murid dalam menempuh cara yang lebih cepat terbuka mata hatinya, hendaknya bacaan La Ilaha IllaLlah naik dari atas pusar, kemudian menuju ke nafsu yang terletak di antara dua lambung, kemudian menyambungkannya dengan hati (jantung) yang ada di antara tulang dada dan pencernaan, dan menolehkan kepalanya ke arah kiri dengan disertai kehadiran hati yang maknawi di dalamnya. Mereka mengatakan: Keras dalam berdzikir hendaknya dengan cara yang lembut, karena dikhawatirkan terjadi keretakan dalam perut dan semakin membengkak, sehingga mengakibatkan tidak bisa berdzikir dengan keras sama sekali. Orang yang berdzikir hendaknya berhati-hati dalam melafalkan kalimat Tauhidy La Ilaha IllaLlah ini, jangan sampai terjadi salah ucap. Karena kalimat ini bersumber dari al-Qur’an. Maka harakat Lam yang ada pada La Nafi dibaca panjang secukupnya, Hamzah yang ber-kasrah dibaca dengan jelas tanpa dipanjangkan sama sekali, kemudian Lam setelahnya pada lafal Ilah dibaca panjang dengan mad thabi’i, dan Ha’ yang jatuh setelahnya dibaca fathah tanpa dibaca panjang. Kemudian Hamzah yang ada pada istisna’ di-kasrah dengan dibaca ringan tanpa dipanjangkan, dan Lam Alif setelahnya juga tidak dipanjangkan. Dan lafal Jalalah (Allah) Lam-nya dipanjangkan dan berhenti pada Ha’ dengan di-sukun bila di-waqaf-kan. Demikian pula hendaknya tidak memanjangkan huruf Ha’ dari lafal Ilah, yang akibatnya mengubah bacaan al-Qur’an. Demikian pula mengucapkan huruf Ha’ pada lafal Jalalah (Allah) hendaknya tidak dibaca panjang, yang akan memunculkan huruf wawu. Tuan Guru Ali bin Maimun, guru dari Tuan Guru Muhammad bin Iraq mengatakan: “Kesalahan baca ini telah dilakukan oleh kaum fakir (sufi) non-Arab dan Romawi. Sementara mengikuti sunah Muhammad Saw. dan ulama salaf adalah yang diharuskan.” Tuan Guru Yusuf al-‘Ajami mengatakan: Adab dzikir yang telah mereka sebutkan adalah untuk orang yang berdzikir secara sadar. Sedangkan orang yang berdzikir di luar kontrol kesadaran maka dzikirnya bersamaan dengan warid (rahasia-rahasia yang datang ke dalam hatinya), sehingga kadang-kadang lidahnya berucap lafal: Allah atau Huwa atau La atau Ah atau Aa atau Aa atau suara tanpa huruf atau ngawur. Maka adabnya dalam kondisi di luar kontrol kesadaran ini adalah pasrah terhadap warid yang datang. Apabila warid itu habis maka adabnya adalah diam tanpa berbicara apa pun. Adab-adab sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh orang yang berdzikir dengan lisan. Sementara orang yang berdzikir dengan hati maka adab-adab tersebut tidak harus dilakukan. Adapun tiga poin adab yang dilakukan setelah berdzikir adalah sebagai berikut: Diam tanpa bicara setelah ia tenang, khusyu’ dengan hati yang hadir, memperhatikan warid dzikir yang mungkin datang sehingga pada saat itu warid yang memenuhi wujudnya lebih banyak daripada apa yang dipenuhi oleh mujahadat (perjuangan spiritual) riyadhat (latihan spiritual) selama tiga puluh tahun. Barangkali yang datang adalah warid zuhud, sehingga ia menjadi orang yang zuhud, atau warid mampu memikul beban disakiti orang lain sehingga menjadi penyabar, atau warid takut kepada Allah sehingga menjadi orang yang takut kepada-Nya, demikian seterusnya. Imam al-Ghazali mengatakan: Pada saat diam tanpa bicara ini memiliki beberapa adab, antara lain: Pertama, seorang hamba menghadirkan hatinya, sehingga ia merasa bahwa Allah senantiasa melihatnya dan ia sedang berada di depan-Nya; Kedua, memusatkan semua inderawi sekiranya tidak ada satu bulu rambut pun yang bergerak, seperti kondisi seekor kucing yang mau menerkam seekor tikus; Ketiga, menghilangkan semua bisikan diri dan mengalirkan makna Allah, Allah pada hati.” Kemudian al-Ghazali mengatakan: “Seorang yang berdzikir tidak akan membuahkan muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) kecuali disertai dengan adab-adab tersebut.” Hendaknya mencela dirinya kira-kira tiga sampai tujuh pernafasan atau lebih, sampai seluruh warid yang ada bisa beredar ke seluruh alam dirinya, sehingga mata hatinya bisa bersinar, bisikan-bisikan diri dan setannya bisa terputus darinya, dan semua hijab bisa tersingkap. Ini semua wajib dilakukan menurut istilah mereka. Tidak diperkenankan minum air dingin setelah berdzikir. Sebab dzikir bisa mengakibatkan terbakar, gejolak, dan kerinduan yang membara kepada Yang selalu disebut dan diingat (Allah), yang merupakan tujuan terbesar yang ingin dicapai dari dzikir. Sementara minum air bisa memadamkan panasnya gejolak dan membaranya kerinduan tersebut. Maka seorang yang berdzikir hendaknya selalu memperhatikan dan berusaha melakukan tiga adab ini. Karena buah dari berdzikir akan tampak dengan tiga adab ini. Dan hanya Allah Yang Mahatahu. Buah dan Talqin Dzikir Secara Umum Perlu anda ketahui, bahwa talqin dzikir memiliki buah secara umum dan juga buah secara khusus. Sedangkan dari masing-masing buah terdapat tokohnya sendiri-sendiri. Maka buah yang bersifat umum, setelah seseorang di-talqin dzikir, maka ia akan menjadi bagian dari suatu lingkaran, seakan-akan menjadi rangkaian dari lingkaran rantai besi. Apabila ia bergerak karena ada suatu masalah, maka bagian dari rangkaian yang lain juga ikut bergerak. Sebab antara masing-masing orang yang diberi mandat mulai dari Rasulullah Saw hingga orang yang bersangkutan merupakan satu rangkaian dari silsilah. Ini berbeda dengan orang yang tidak mendapatkan talqin (bimbingan) dzikir secara lisan dari para guru, maka ia seperti bagian dari rangkaian yang terpisah. Apabila ia bergerak karena ada satu masalah yang menjadi beban, maka tidak ada seorang pun yang bergerak untuk membantunya, karena tidak ada hubungan antara dia dengan yang lain. Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi berkata: Talqin (bimbingan dzikir secara lisan) seorang guru kepada murid ibarat sebutir benih yang ditanam di tanah gersang, yang pengairannya hanya bergantung dengan turunnya hujan. Maka hasil produksi, perkembangan, dan berseminya daun sangat bergantung pada kesanggupannya menyerap air dalam kadar banyak atau tidaknya sesuai dengan pengairan yang ada, dan bukan bergantung pada seorang guru yang menanam benih. Seorang guru hanya memiliki benih yang siap ditanam, sedangkan yang berhak menumbuhkan adalah al-Haq Swt. Bisa jadi seorang guru menanamkan benih pada bumi seorang murid, lalu ia tumbuh tapi kemudian mati. Maka buah yang bisa dituai bisajadi nanti di tangan seorang guru lain setelahnya. Ini bisa jadi karena lemahnya semangat sang murid atau karena makna-makna dzikir tidak mampu menguasai dan mempengaruhi hati dan lisannya secara terus-menerus. Kaum sufi mengatakan: Sesungguhnya pengaruh dzikir setelah di-talqin seperti pengaruh hujan terhadap benih setelah ditanam. Karena hal itu pula yang bakal mempengaruhi terbukanya mata hati dan hasil produksi. Maka bisa dimengerti, bahwa seorang murid setelah di-talqin tidak cukup hanya menghadiri majelis dzikir bersama kaum sufi yang lain di pagi dan sore hari, sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan murid di zaman ini. Sebab buah dari dzikir seperti itu hanya seperti orang yang meneteskan setetes air pada benih yang ditanam di saat pagi hari dan setetes air lagi di sore hari. Sementara angin dan terik matahari dalam rentang waktu pagi hingga sore sudah menghabiskan tetesan air tersebut. Hal itu tidak akan bisa membasahi bumi yang ditanami benih, bahkan bisa jadi tetesan air itu tidak bisa sampai ke benih, sehingga benih ini butuh waktu lama untuk bisa terbuka. Dan bisa jadi ia sudah mati dan belum ada tanda-tanda untuk terbuka. Barangkali murid seperti ini hanya akan bisa menyalahkan guru yang men-talqin-nya, kemudian ia mengatakan, “Sebenarnya saya tidak perlu bimbingan dan talqin dari guru ini, karena tidak ada hasil dan manfaatnya bagi diri saya.” Ia tidak paham, bahwa tugas seorang guru hanyalah menanam benih di bumi si murid. Sementara tugas seorang murid adalah memperbanyak dzikir dan berperilaku dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai. Kemudian kalau terbukanya si murid ini terlalu lamban, maka hal itu kembali kepada Allah, dan bukan dialamatkan kepada sang guru. Maka murid yang semangatnya sangat kendor ini ibarat kapas yang digunakan untuk menyulut bunga api pada korek. Apabila kapas itu kering maka percikan bunga api akan segera menyala, tapi kalau kapas itu basah maka seluruh percikan bunga api akan padam. Maka pahamilah! Kalau seorang murid telah mendapatkan bimbingan dan talqin dzikir dari seorang guru, kemudian ia berbuat maksiat atau berperilaku yang menyalahi kesopanan (adab), maka ia wajib mengulangi pen-talqin-an, agar setan yang ada di dalam dirinya bisa keluar dari sarangnya. Sebab talqin dzikir adalah sarana untuk mengusir setan, sedangkan berperilaku yang menyalahi kesopanan dapat memasukkan setan ke dalam dirinya. Kami pernah mendengar Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi berkata: “Apabila seorang murid telah mendapatkan talqin, kemudian ia melakukan tindakan yang menyalahi kesopanan, maka ia ibarat sebutir benih yang dimakan ulat, lalu membusuk dan berubah wujud. Setelah itu tidak ada harapan untuk bisa tumbuh dan bersemi, apalagi menghasilkan buah. Akan tetapi benih yang ditanam sang guru tersebut akan rusak secara total.” Kasus seperti ini banyak dialami oleh para murid di zaman sekarang ini. Tak seorang pun dari mereka yang berusaha memperbarui talqin kepada sang guru. Akhirnya mereka tidak mendapatkan manfaat apa-apa, dan hanya menjadi tubuh yang tak bernyawa, ibarat sebatang kayu yang disandarkan. Maka tidak ada upaya dan kekuatan apa pun selain dengan Allah Yang Maha Agung. Buah dari Talqin Secara Khusus Talqin secara khusus adalah talqin suluk (perilaku menempuh Jalan Allah) setelah ia masuk ke dalam lingkaran (anggota) kaum sufi, dimana gambarannya adalah sebagai berikut: Seorang guru tarekat akan bermunajat dan menghadap kepada Allah Swt. kemudian ketika ia berkata kepada sang murid: “Ucapkan kalimat: Laa ilaa ha illallahu“ maka ia mencurahkan kepada sang murid seluruh ilmu syariat suci yang telah menjadi bagiannya. Setelah sang murid ini mendapatkan talqin, ia tidak perlu lagi menelaah kitab-kitab syariat sampai ia mati. Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata: “Ketika guruku, Syekh Sari as-Saqathi men-talqin-ku maka beliau mencurahkan seluruh ilmu syariat yang ia miliki kepadaku.” Al-Junaid juga berkata: “Tidak ada ilmu yang turun dari langit dan Allah menjadikan jalan untuk makhluk menuju ke sana, kecuali Allah juga akan memberiku bagian tertentu untuknya.” Ia juga pernah berkata: “Orang yang hendak menjadi pemimpin dalam pengambilan janji (sumpah), membimbing dzikir (talqin) dan menunjukkan jalan para murid dibutuhkan orang yang benar-benar mendalami ilmu syariat. Sebab setiap gerak-geriknya akan menjadi pertimbangan secara hukum (syariat).” Kalau di saat ini ada orang yang mengklaim dirinya telah menjadi guru tarekat (sufi) dan kemudian mengatakan, bahwa hal ini tidakmenjadi syarat dalam melakukan talqin dan bimbingan kepada para murid, ini hanya karena ia tidak sanggup melakukannya. Kalau ada guru tarekat seperti ini maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Ini berarti anda telah mengatakan, bahwa para guru tarekat salaf adalah orang-orang bodoh.” Ini banyak terjadi pada orang-orang yang telah mendirikan perguruan tarekat dengan cara yang tidak benar. Sehingga ia mengatakan tentang setiap syarat yang ia lihat pada setiap tingkatan spiritual (maqamat) bukanlah termasuk syarat menjadi guru tarekat yang hendak men-talqin dan membimbing para murid. Hal ini ia katakan demikian, karena ia takut aibnya terbuka di masyarakat. Andaikan ia orang yang berakhlak mulia dan memiliki kesopanan tentu ia akan berkata, “Hal ini aku tidak sanggup melakukannya.” Kemudian ia meminta kepada guru lain yang bisa mengantarkannya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang jujur. Manfaat Dzikir dan Cara Melakukannya Perlu anda ketahui, bahwa manfaat dzikir tidak bisa dihitung jumlahnya. Sebab orang yang berdzikir akan menjadi “teman dekat” Allah, yang tidak ada lagi perantara antara dia dengan Allah Swt. Maka tidak ada seorang pun yang tahu, berapa banyak apa yang dipilihkan Allah untuknya dari berbagai ilmu dan rahasia ketika ia sedang berdzikir. Karena ini merupakan hadirat yang tidak seorang pun bisa mendatangi dan memisahkannya tanpa pertolongan Allah Swt. Maka bisa ditanyakan kepada orang yang mengaku, bahwa saat berdzikir ia bisa hadir dengan sepenuh hati ke hadirat Allah Swt.: “Apa yang dipilihkan dan diberikan kepada anda di majelis ini?” Kalau ia menjawab, “Kami tidak diberi apa-apa?” Maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Anda adalah orang lain yang tidak mau menghadirkan sesuatu, maka ambil dan jadikan sesuatu (yakni guru) yang bisa menghilangkan berbagai kendala dan halangan dari diri anda untuk bisa hadir dengan sepenuh hati.” Kalau ia belum juga mengambil dan menjadikan seorang guru, maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Maka perbanyaklah dzikir sekalipun tidak bisa hadir sepenuh hati.” Demikianlah sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Kitab al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary, “Janganlah anda meninggalkan dzikir hanya karena anda tidak bisa hadir sepenuh hati dengan Allah. Sebab lupa Allah dengan tidak berdzikir itu lebih parah daripada lupa anda dengan Allah ketika sedang berdzikir.” Semoga Allah meningkatkan anda dari dzikir yang disertai dengan kelengahan hati menuju dzikir yang disertai dengan kesadaran hati, dan kemudian meningkat menjadi dzikir yang disertai dengan kehadiran hati, dan dari dzikir yang disertai kehadiran hati menuju dzikir disertai dengan hilangnya segala sesuatu selain Yang diingat (yakni al-Madzkur, Allah). Dan hal itu bukanlah hal yang berat bagi Allah. Kaum sufi telah sepakat, bahwa dzikir merupakan kunci segala kegaiban, menarik kebaikan, penghibur orang yang sedang gelisah, dan mandat kewalian. Maka tidak sepantasnya seseorang meninggalkan dzikir sekalipun dengan hati yang lengah. Andaikan bukan karena mulianya dzikir tentu saja kegiatan yang tidak dibatasi oleh waktu, kondisi dan tempat tertentu ini sudah cukup sebagai isyarat kemuliaannya. Allah Swt berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat (berdzikir) kepada Allah, baik dengan berdiri, duduk maupun sambil berbaring ...“ (Q.S. Ali Imran: 191) Kaum sufi mengatakan: Tidak ada yang lebih cepat untuk membuka pintu rahmat Allah daripada dzikir. Dimana ia merupakan penyatu dari berbagai kesemerawutan hati orang yang bersangkutan. Apabila dzikir telah menguasai orang yang berdzikir, maka NamaYang diingat akan bercampur dengan ruh orang yang berdzikir, sehingga pernah terjadi pada sebagian orang yang berdzikir, kepalanya terbentur oleh batu, lalu darah yang menetes ke tanah mengukir lafal Allah, Allah. Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa tidak akan bisa merasakan kedamaian dengan berdzikir kecuali orang yang bisa merasakan kegelisahan akibat lupa Allah. Sementara orang yang sudah terlalu hanyut tidak akan menemukan kedamaian dan kegelisahan. Ia tidak takut binatang buas maupun ular. Setelah kami sebutkan sekilas tentang manfaat dzikir, maka berikut akan kami sebutkan tentang keutamaan dzikir yang disebutkan pada beberapa Hadis Nabi Saw. Sebab semangat hati akan menjadi kuat dengan melihat beberapa kelebihan dan keutamaan yang disebutkan pada dalil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan para ahli hadis yang lain dengan Hadis Marfu’: “Bolehkah aku memberi tahu kalian tentang amal kalian yang terbaik, yang paling bersih di sisi Tuhan Sang Raja, paling tinggi derajatnya, lebih baik bagi kalian daripada kalian menginfakkan emas dan uang, dan lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh lalu kalian mampu memenggal leher mereka dan mereka juga memenggal leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu! Ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memberi jawaban: “Yaitu dzikir kepada Allah.” Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’ yang panjang, berikut hanya sebagian dari potongan Hadis tersebut: “Allah Swt. berfirman: ‘Aku berada pada dugaan hambaKu terhadap Diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku’.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya selalu bergerak karena-Ku.” Mu’adz bin jabal r.a. berkata: Terakhir kali ucapan yang pernah kudengar dari Rasulullah, kemudian tidak lama beliau wafat dimana aku sempat bertanya kepada beliau, “Amal apa yang paling disenangi oleh Allah Swt.?” Maka beliau menjawab, “Engkau mati, sementara lisanmu masih basah untuk mengingat Allah.” Dalam Kitab Sahih disebutkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya segala sesuatu ada alat untuk menggosok hingga mengkilap, dan sesungguhnya alat untuk memengkilapkan hati adalah berdzikir kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu yang lebih bisa menyelamatkan diri dari siksa Allah daripada berdzikir kepada Allah. ” Kemudian para sahabat bertanya, “Bukankah berjihad demi membela agama Allah?” Beliau menjawab, “Dan tidak pula ia mampu memenggal leher musuh dengan pedang hingga terputus.” Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Kitab Sahihnya, dengan Hadis Marfu’: “Sungguh ada suatu kaum di dunia yang masih berdzikir kepada Allah di atas tempat tidurnya yang terbentang, maka Allah akan memasukkan mereka ke tingkatan-tingkatan tertinggi.” Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Perumpamaan orang yang selalu berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak pernah mengingat Tuhannya adalah seperti orang hidup dengan orang mati.” Imam Ahmad dan ath-Thabrani meriwayatkan: Bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, siapa orang yang berjihad demi agama Allah yang paling besar pahalanya?” Maka Rasulullah menjawab, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah, kemudian mengingat shalat, zakat, haji, dan sedekah.” Sementara itu Rasulullah hanya mengatakan, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah.” Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafsh, orang-orang yang selalu mengingat Allah pergi dengan membawa seluruh kebaikan. ” Kemudian Rasulullah menimpali, “Ya, tentu saja.” Ath-Thabrani meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang disesali oleh penghuni surga kecuali saat-saat yang telah berlalu dimana mereka tidak mengingat Allah Swt.” Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Barangsiapa tidak mengingat Allah maka ia benar-benar bebas dari iman.” Syekh Abu al-Mawahib berkata, “Barangsiapa melupakan Allah maka ia benar-benar telah kufur.” Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan: “Allah Azza wa Jalla berfirman: Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya jika kamu mengingat-Ku berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku, dan jika kamu melupakan-Ku berarti kamu telah kufur kepada-Ku.” Lupa di sini secara mutlak, baik lupa akibat kelengahan yang terjadi karena kebodohan tentang Allah sehingga ia menyekutukan-Nya, atau lupa karena lengah dan berpaling dan al-Haq, sementara cara yang ditempuh adalah tercela. Kalau ada pertanyaan, “Mana yang paling bermanfaat antara dzikir sendirian dengan dzikir secara berjamaah?” Maka jawabannya bisa berbeda-beda: Dzikir sendirian tentu lebih bermanfaat bagi orang-orang yang mampu mengasingkan diri dan makhluk (khalwat). Begitu sebaliknya, dzikir secara berjamaah akan lebih bermanfaat bagi mereka yang tidak bisa mengasingkan diri dari makhluk. Jika anda bertanya: Mana yang paling bermanfaat antara dzikir secara pelan-pelan (sirri) dengan dzikir secara keras? Maka jawabannya adalah, bahwa dzikir secara keras akan lebih bermanfaat bagi para pemula yang hatinya masih belum lunak. Sedangkan dzikir secara sirri akan lebih bermanfaat bagi mereka yang telah suluk dan dikuasai oleh kebersamaan (dengan Allah). Jika anda bertanya: Apakah perkumpulan untuk berdzikir itu lebih baik ataukah justru tindakan bid’ah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang? Maka kami jawab: Perkumpulan tersebut justru dianjurkan dan disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu ibadah apa yang lebih baik dari ibadah suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, dan dengan dzikir mereka bermunajat kepada-Nya? Jika anda bertanya: Apa argumentasi yang menguatkan, bahwa perkumpulan untuk berdzikir bersama itu lebih baik? Maka kami jawab: Dalil yang menguatkan hal itu adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi dengan Hadis Marfu’: “Setiap kali suatu kaum duduk bersama untuk berdzikir kepada Allah, tentu akan ada malaikat yang mengepungnya, diliputi oleh rahmat dan diturunkan suatu ketenangan, dan Allah akan menuturkan mereka kepada makhluk yang ada di sisi-Nya.” Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya Allah Swt. memiliki para malaikat yang selalu berkeliling untuk mencari orang-orang yang biasa berdzikir. Apabila mereka menemukan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, mereka akan saling memanggil: “Kemarilah pada apa yang kalian perlukan.” Rasulullah melanjutkan kisahnya: ‘Akhirnya mereka mengepung kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka mengarah ke langit dunia.’” Imam Ahmad meriwayatkan Hadits dan Rasulullah dengan sanad yang baik: “Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridha-Nya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Hendaknya kalian bangkit dengan terampuni dosa-dosa kalian. Sungguh kejelekan kalian telah diganti dengan kebaikan.” Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah Hadis Marfu’ dengan sanad yang baik dan yang searti dengan Hadits di atas: “Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridhaNya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Jika kalian lewat di pertamanan surga maka merumputlah!” Kemudian para sahabat bertanya: “Apa yang dimaksud pertamanan surga wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab: “Yaitu lingkaran manusia ketika sedang berdzikir.” Ibnu Hibban meriwayatkan Hadis Marfu’ dalam Kitab Sahihnya: ‘Allah Swt. berfirman: Bakal diketahui Ahlul Jam’i (orang-orang yang biasa berkumpul) dengan Ahlul Karam (mereka yang dermawan). Kemudian Rasulullah ditanya, Siapa Ahlul Karam itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka orang-orang yang biasa berdzikir di mesjid-mesjid. Maka berdzikirlah kepada Allah sehingga orang-orang mengatakan, ‘Ia orang gila’.” Abu Dawud meriwayatkan: “Sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Subuh hingga terbit matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang budak dari anak cucu Ismail. Dan sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Asar hingga terbenam matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang budak.” Para ulama mengatakan: Rasulullah mengkhususkan anak cucu Nabi Ismail a.s., karena memerdekakan seorang budak dari keturunan Ismail a.s. nilainya sama dengan memerdekakan dua belas orang budak selain keturunan Ismail. Imam Alimad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa keuntungan dari majelis-majelis dzikir?” Beliau menjawab, “Keuntungan dari majelis dzikir adalah surga.” Syekh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan: Hadits ini dan yang semisal disamakan dengan tingkatan perintah. Sebab setiap perbuatan yang dipuji oleh Sang Pembuat syariat atau pelakunya dipuji karena perbuatan tersebut atau dijanjikan dengan kebaikan, baik sekarang maupun yang akan datang, maka perbuatan tersebut diperintahkan. Hanya saja perintah ini ada pilihan antara wajib dan sunah (dianjurkan). Sementara Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak. Para ulama, baik salaf maupun khalaf telah bersepakat dalam menganjurkan dzikir kepada Allah Swt. secara berjamaah, baik di mesjid maupun di tempat-tempat yang lain. Kesepakatan ini tidak ada seorang pun dari mereka yang menentangnya. Kecuali bila kegiatan dzikir mereka bisa mengganggu ketenangan orang yang sedang tidur atau orang yang sedang shalat atau membaca al-Qur’an dan lain-lain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab fikih. Imam al-Ghazali menyamakan dzikir seorang diri dan dzikir secara berjamaah dengan adzan sendirian dan adzan secara bersama, dimana ia mengatakan: “Sebagaimana suara orang-orang yang berazan secara bersama akan lebih menggema di angkasa daripada suara adzan sendirian. Maka berdzikir secara berjamaah dengan satu hati tentu lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab (tabir) daripada berdzikir seorang diri.” Adapun masalah pahala yang mereka dapatkan ketika sedang berdzikir secara berjamaah, maka masing-masing orang akan mendapatkan pahala dan dzikirnya dan pahala dan mendengar dzikir temannya. Sementara alasan yang menguatkan tentang dzikir dengan berjamaah akan lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab, adalah karena al-Haq Swt. telah menyamakan hati dengan batu yang keras. Sebagaimana yang kita maklumi, bahwa batu besar sulit dipecahkan kecuali dengan kekuatan bersama yang berpadu dalam satu hati. Sebab kekuatan bersama akan lebih dahsyat daripada kekuatan seorang diri. Oleh karenanya, mereka menyanatkan dalam berdzikir harus dengan kekuatan yang optimal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt., “Kemudian setelah itu hati meneka mengeras bagaikan batu, atau justru lebih keras daripada batu, (Q.S. al-Baqarah: 74). Sebagaimana batu tidak bisa dipatahkan kecuali dengan kekuatan yang dahsyat. Maka demikian pula dzikir tidak mampu mengumpulkan kesemerawutan hati yang bersangkutan kecuali dengan kekuatan yang optimal. Kalau ada pertanyaan: Dzikir manakah yang terbaik antara La Ilaha IllaLlah atau ditambah dengan : “MuhammadurRasulullah” (Muhammad Utusan Allah)? Maka jawabannya: Dzikir yang terbaik bagi orang-orang yang menempuh jalan Allah (para salik) adalah La Ilaha IllaLlah tanpa ditambah dengan “Muhammadun-Rasulullah“, sampai berhasil adanya kebersamaan dengan Allah Swt. di dalam hatinya. Ketika kebersamaan ini telah terjadi pada hati seseorang maka dzikir yang terbaik ditambah dengan Muhammadun-Rasulullah. Sebab dzikir Muhammad Rasulullah adalah sebuah pengakuan (ikrar), sedangkan pengakuan bisa hanya sekali dalam seumur hidup. Dan tujuan mengulangulang kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah memperbanyak penyingkapan terhadap hijab-hijab nafsu, disamping juga mengucapkan kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” benanti menunaikan perintah Rasulullah yang pernah mengatakan: “Ucapkan kalimat, ‘La Ilaha IllaLlah,’” ini berarti sekaligus menetapkan dan mengakui tentang kerasulannya. Oleh karenanya, dalam sebagian riwayat hanya menyebutkan dengan kalimat “La Ilaha IllaLlah” dimana Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan kalimat: ‘La Ilaha IllaLlah (tiada Tuhan yang haq selain Allah).’ Apabila mereka telah mengucapkannya, berarti mereka benar-benar telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali yang menjadi hak Islam dan perhitungannya kepada Allah.” Dalam riwayat ini Rasulullah tidak mengatakan: “Muhammadur-Rasulullah (Muhammad Utusan Allah.)” Sebab kesaksian ini juga mengandung kesaksian akan kerasulannya. Kalau ada pertanyaan: Mana yang terbaik antara dzikir dengan membaca al-Qur’an, dimana membaca al-Qur’an merupakan dua kegiatan ritual sekaligus, yakni membaca dan juga dzikir? Maka jawabannya: Dzikir adalah lebih baik bagi murid, dan membaca al-Qur’an lebih baik bagi orang yang sudah sempurna yang mampu mengetahui keagungan Allah Swt. Sementara yang kami maksud dzikir dan membaca al-Qur’an di sini tidak terikat dengan waktu. Akan tetapi kalau terikat dengan waktu dan kondisi maka dzikir akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya dari membaca al-Qur’an, juga akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya. Syekh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan: “Suatu ketika membaca al-Qur’an menjadi lebih utama daripada dzikir, dan suatu ketika berdzikir juga akan lebih utama daripada membaca al-Qur’an.” Ia melanjutkan: “Para ulama telah berbeda pendapat tentang mana yang terbaik antara ucapan seorang hamba: Allah, Allah, Allah ... ataukah “La Ilaha IllaLlah”? Maka sebagian kaum sufi berpendapat, bahwa berdzikir dengan lafal Jalalah (Allah, Allah, Allah ...) adalah lebih baik bagi para pemula. Sementara itu sebagian besar kaum sufi, para ahli hadis dan para ahli fikih telah berpendapat, bahwa berdzikir dengan kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah lebih baik bagi para pemula dan orang-orang yang telah sampai pada tujuan. Dan ada pula sebagian kaum sufi yang berpendapat, bahwa kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah dzikir bagi para pemula, sedangkan kalimat Allah, Allah, Allah adalah dzikir orang-orang yang telah mencapai tujuan. Masing-masing dari mereka yang berpendapat demikian memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Adapun sanad kaum sufi tentang mengenakan serpihan kain (khirqah) kepada murid adalah sebagaimana yang kami riwayatkan dan al-Hafizh Dhiya’uddin al-Maqdisi, al-Hafizh Ibnu Musdi, dan al-Hafizh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, bahwa Hasan al-Bashri dan Uwais al-Qarni mengenakan serpihan kain kepada sahabatnya. Sementara Hasan al-Bashri menceritakan, bahwa ia mengenakan serpihan kain dari tangan Ali bin Abu Thalib r.a., sedangkan Uwais al-Qarni memberitahukan bahwa ia mengenakannya dari tangan Umar bin Khaththab r.a. dan Ali bin Abu Thalib. Sedangkan kedua sahabat ini mengenakannya dari tangan Rasulullah Saw., dan Rasulullah sendiri dari tangan Jibril a.s. dengan perintah dari Allah Azza wa Jalla. Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa sebagian ahli hadis tetap membantah kesahihan sanad mengenakan serpihan kain ini dari sisi persambungan sanadnya pada setiap generasi, sampai akhirnya muncul Syekh Jalaluddin as-Suyuthi yang kemudian menyatakan, bahwa sanad mengenakan serpihan kain ini sahih, yang jalur sanadnya mengikuti para huffazh hadis. Sedangkan Hasan al-Bashri sendiri sempat mendengar dan bertemu dengan Ali r.a. — sebagaimana yang telah kami jelaskan di muka dalam menjelaskan sanad talqin kaum sufi. Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi pernah mengenakan serpihan kain ini kepada sang murid sembari mengatakan: “Ini aku lakukan hanya karena mengambil berkah dengan apa yang dilakukan para salaf Sedangkan aku sendiri tidak menemukan dalilnya.” Ia menyebutkan pada bab kedua puluh lima dan Kitab al-Futuhat, sebagai berikut: ‘Aku tidak bisa mengatakan tentang pendapat mengenakan serpihan kain yang dilakukan oleh kaum sufi. Aku mengetahui serpihan kain ini hanya sebatas untuk persahabatan dan adab, bukan yang lain. Oleh karenanya, mengenakan serpihan kain ini tidak ditemukan sanadnya bersambung dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi ketika aku bertemu dengan Khidhir a.s. di Mekkah dan aku melihatnya mengenakan pakaian ini kepada para wali, maka sejak saat itu aku bisa mengatakan suatu pendapat tentang pakaian simbolis ini. Akhirnya aku mengenakannya dari tangan Khidhir yang waktu itu aku berada di sudut Hajar Aswad. Akhirnya setelah itu aku juga mengenakannya kepada para murid. Demikian pula dalam beberapa kesempatan lain aku pernah mengenakannya dari tangan Isa a.s.” Lebih lanjut ia mengatakan: “Sedangkan rahasia dalam mengenakan pakaian simbolis ini, adalah ketika seorang guru ingin menyempurnakan tingkatan spiritual si fakir (murid), sedangkan sang guru dalam kondisi spiritual ekstase yang tak terkendalikan, maka ia akan mencabut pakaian yang sedang ia kenakan kemudian dikenakan pada sang murid yang ingin disempurnakan tingkatan spiritualnya. Akhirnya kondisi sang guru yang pada saat itu telah memuncak akan menular kepada sang murid. Akhirnya kondisi spiritual sang murid akan menjadi sempurna dalam akhlaknya.” Maka pakaian simbolis yang dikenal di kalangan kaum sufi ini ibarat sebuah mahkota dari seorang raja. Adapun orang yang mengenakannya tidak dalam kondisi spiritualnya memuncak maka ia hanya berusaha meniru dan mencari berkah dengan kaum sufi salaf dan bukan yang lain. Jika sekarang anda telah tahu, maka aku ingin mengatakan — dan hanya Allah yang akan memberi pertolongan: Syekh al-Mursi, Abu al-Abbas — rahimahumullah — mengatakan: ‘Wajib bagi seorang (guru) yang hendak mengenakan serpihan kain kepada para murid dengan cara suluk untuk menjelaskan orang-orang yang menjadi silsilah (sanad)nya. Sebab pada saat ini hal itu merupakan suatu riwayat. Sedangkan riwayat harus dijelaskan dan ditentukan orang-orang yang menjadi sanadnya. Sedangkan orang-orang yang melakukan hal itu karena jaddah Ilahiah (kondisi di luar kesadaran karena tertarik oleh magnet Ilahi), maka mereka tidak wajib menentukan sanad para guru ketika sedang mengenakan pakaian simbolis ini kepada para murid. Sebab hal itu merupakan hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. dan membukakan mereka dari pancaran anugerah-Nya.” Jika anda telah tahu, maka saya mengenakan serpihan kain ini dari tangan Tuan Guru Syekh Zakaria al-Anshari, yang dimakamkan lurus dengan wajah Imam asy-Syafi’i yang lurus dengan jendela Syekh Najmuddin al-Khusyani. Hal itu terjadi pada bulan Muharam 914 H. dimana beliau mengenakannya dari tangan Tuan Guru Syekh Muhammad al-Ghamari, dan al-Ghamari mengenakan dari tangan Syekh Ahmad az-Zahid, dan az-Zahid mengenakan dari tangan Syekh Hasan at-Tustari, dimana Hasan at-Tustari mengenakannya dari tangan Tuan Yusuf al-’Ajami, dan Yusuf al-’Ajami mengenakannya dari tangan Syekh Mahmud al-Ashfahani, dan al-Ashfahani mengenakannya dari tangan Syekh Abdush-Shamad an-Nathtari, dan an-Nathtari mengenakannya dari tangan Syekh Najibuddin Ali bin Burghusy, dan Najibuddin mengenakannya dari tangan Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, dan as-Suhrawardi mengenakannya dari tangan pamannya sendiri, Najib as-Suhrawardi, dimana Najib as-Suhrawardi mengenakannya dari pamannya, al-Qadhi Wajihuddin, dan Wajihuddin mengenakannya dari tangan ayahnya sendiri, Muhammad yang lebih terkenal dengan Amawaih, dan Amawaih mengenakannya dari tangan Syekh Ahmad ad-Dinawari, dan ad-Dinawari mengenakannya dari tanganAbu al-Qasim al-Junaid, dan al-Junaid mengenakannya dari tangan Abu Ja’far al-Haddad, dan al-Haddad mengenakannya dari tangan Abu Amr al-Ushthuhri, dimana al-Ushthuhri mengenakannya dari tangan Saqiq al-Balkhi, dan al-Balkhi mengenakannya dari Ibrahim bin Adham, dan Ibrahim bin Adham mengenakannya dari tangan Musa bin Yazid ar-Ra’i, dan ar-Ra’i mengenakannya dari tangan Uwais al-Qarni, dan Uwais al-Qarni mengenakannya dari tangan Umar bin Khaththab dan Ali bin Abu Thalib, ketika keduanya diperintah oleh Nabi Saw untuk bertemu dengannya. Sementara itu Umar bin Khaththab r.a. dan Ali bin Abu Thalib mengenakannya dari tangan Rasulullah Saw, sedangkan Rasulullah Saw mengenakannya dari jibril a.s. dan jibril mengenakannya atas perintah Allah Azza wa Jalla. Ini sebagaimana yang saya lihat dalam Risalah Syekh Abdurrahman al-Qaushi, murid dari Abu Abdillah al-Qurasyi, dimana ia meriwayatkan dengan sanad yang sambung sampai dengan Rasulullah Saw, “Bahwa pada saat Isra’ Mi’raj Rasulullah Saw melihat sebuah peti dan cahaya (nur) lalu peti itu dibuka olehJibril. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa lembar serpihan kain berwarna merah, hijau, dan hitam. Kemudian Rasulullah bertanya kepada jibril, ‘Apa ini wahai Jibril ?“ Maka Jibril menjawab, “Ini adalah serpihan-serpihan kain untuk umatmu yang khusus.” Dalam Risalah tersebut saya hanya menemukan ini, dan tidak ada yang lain. Maka segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemelihara alam. Mukadimah dari buku ini selesai sudah, dan kita akan segera pada bab berikutnya.

Mereka Yang Tidak Menyukai Sama'

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily Hal-hal sebagaimana di atas memang tidak disuka oleh berbagai kalangan: Misalnya sekelompok kaum yang tidak suka karena adanya berita (akhbar) yang diriwayatkan dari sebagian imam terdahulu, ulama dan tabiin, bahwa mereka tidak menyukainya. Sehingga orang yang tidak suka akan beralasan karena mengikuti mureka, sebab mereka adalah figur dan imam dalam berbagai hukum keagamaan dan tokoh pada zamannya bagi umat Islam. Sementara itu, suatu kaum dari kalangan para murid, orang-orang yang mendekat kepada Tuhan dan bertobat juga tidak menyukainya, karena sangat berbahaya bila mereka bisa menikmati kesenangan dan mengikuti kesenangan nafsunya, sebab “ikatan” yang sudah diikat dengan kuat akan bisa terlepas dan terurai lagi, kemauan kuatnya akan hancur. Cenderung mengikuti keinginan nafsu dan terjerumus dalam fitnah dan bencana. Ada pun kelompok lain yang tidak suka hal ini dan berpendapat, bahwa menyeburkan diri untuk mendengarkan potongan-potongan bait syair ini tidak bisa Iepas dari dua kemungkinan: Bisa jadi termasuk kelompok orang-orang yang hanya menghibur diri, yaitu suatu kaum yang suka bermain-main dan fitnah; dan bisa jadi termasuk kaum yang telah mencapai tingkat kondisi spirituaI yang mulia dan telah memeluk erat tingkatan-tingkatan spirituaI yang diridlai, mematikan nafsu mereka dengan latihan-latihan dan perjuangan spiritual, melempar dunia di belakang mereka dan mencurahkan segalanya hanya untuk Allah Azza wa-Jalla dalam segala makna mereka. Kelompok ini mengatakan, “Kami bukanlah golongan yang pertama dan juga bukan golongan yang kedua. Sehingga tidak ada artinya kami menyibukkan diri dengan hal itu, sementara meninggalkan hal itu adalah lebih baik bagi kami dengan alternatif untuk menyibukkan diri dengan Iman, melaksanakan kewajiban dan menjauhi dari yang diharamkan.” Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya mendengar Ahmad bin al-Wajihi berkata: Saya mendengar Abu Ali ar-Rudzabari —rahimahullah— mengatakan, Dalam masalah ini kami teIah mencapai pada suatu posisi yang tajamnya seperti pedang. Apabila kita ikut condong kesitu, maka kita akan masuk ke neraka.” Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Ja’far al-Khuldi memberitahu saya tentang apa yang pernah saya bacakan kepadanya: Saya mendengar al-Junaid —rahimahullah— bekata: Suatu ketika aku pernah berkunjung ke tempat Sari as-Saqathi, lalu Ia bertanya kepadaku, “Bagaimana kabar sahabat-sahabat Anda, masih melagukan kasidah?” “Ya” jawabku. Kemudian ia berkata, “Mereka melagukannya dengan cinta berat? Seandainya Anda berkenan maka aku akan melagukan kasidahku seperti cara mereka.” Al-junaid berkata, “Ia memiliki banyak kasidah namun disembunyikannya karena takut.” Ada pula kelompok lain yang tidak menyukainya, dengan alasan bahwa tidak semua orang awam bisa memahami maksud kaum Sufi dari apa yang mereka dengar. Bisa jadi mereka keliru dan tergelincir dari apa yang mereka maksud, sehina mereka tidak menyukainya karena kasihan kepada orang-orang awam dan menjaga orang-orang khusus serta menjaga waktu agar tidak terbuang sia-sia, sebab bilamana waktu telah terlanjur hilang maka tidak akan bisa dicari kembali. Ada kelompok lain yang tidak menyukainya juga memberikan alasan, bahwa Ia telah kehilangan teman-teman yang sederajat, tidak ada orang yang cocok dari layak untuk melakukannya, sebab akan menjadi bencana bila ia bercampur dengan orang-orang yang tidak sepadan dan harus berteman dengan orang-orang yang justru sebaliknya. Maka ia meninggalkannya untuk mencari yang lebih selamat, karena Ia mengerti kondisi dan orang-orang sezaman dengannya. Ada juga kelompok yang tidak menyukainya, dengan berargumentasi sabda Rasulullah Saw.: “Di antara keislaman seseorang yang baik adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.” (H.r. Ahmad, Abu Ya’la, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Mereka mengatakan, bahwa tindakan sama’ tersebut tidak bermanfaat bagi kami, sebab kami tidak diperintah untuk itu, dan itu tidak bisa djadikan bekal di alam kubur serta bukan hal yang bisa menyelamatkan di akhirat, maka mereka tidak menyukainya karena maksud tersebut. Sementara kelompok dari orang-orang ma’rifat dan mereka yang telah mencapai tingkat kesempurnaan juga tidak menyukainya, karena kondisi spiritual mereka sudah mencapai tingkat istiqamah, waktu-waktunya selalu dipenuhi dengan ibadah, dzikirnya sudah bersih, rahasia hatinya suci, hatinya selalu hadir, niatnya terfokus dalam satu tujuan, sementara bila ada hal-hal baru yang melintas di benaknya mereka akan selalu memantaunya, mereka tahu dari mana sumbernya dan ke mana arahnya. Pada diri mereka tidak ada sisa apa pun yang membekas dari apa yang mengetuk telinganya secara lahiriah, sehingga menembus pada pendengaran batin. Sebab adanya kontinuitas bermunajat, kelembutan isyarat, halusnya teguran dan komunikasi, sehingga orang yang duduk bersamanya akan mengingkari dan tidak mengetahuinya, sementara mereka senantiasa bersama Allah sekalipun lahiriah mereka bersama makhluk, “ltulah karunia Allah, yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. al-Hadid: 21).

Pemburu Belajar Belas Kasih dari Anak Rusa

M. Rahim Bawa Muhaiyaddeen SALAM sayangku padamu, cucu-cucuku, anak-anakku, saudara-saudaraku. Sudah pernahkah engkau melihat seekor anak rusa? Perkenankan aku bercerita tentang seekor anak rusa dan induknya. Dengarkanlah dengan seksama! Cerita ini akan memberitahukanmu mengenai perbedaan antara kesadaran manusia dan kesadaran binatang. Pada zaman dahulu, ada seorang laki-laki yang suka berburu. Dia akan masuk hutan dengan membawa sebuah senapan atau busur dan anak panah, dan dia akan menembak kijang, rusa besar, dan binatang-binatang lainnya. Seperti sebagian besar pemburu, dia suka makan daging binatang yang dibunuhnya, tapi dia mendapati daging rusalah yang paling lezat. Sekarang, laki-laki itu sedang berburu, membunuh, dan makan seperti ini hampir sepanjang hidupnya. Kemudian, pada suatu hari, dia menemukan seekor rusa yang sedang menyusui anaknya. Ini membuatnya gembira, karena dia lelah dan tahu bahwa rusa tersebut tidak bisa kabur pada saat menyusui bayinya, jadi dia menembaknya. Tapi sebelum mati, rusa betina itu berteriak, “Duhai manusia, engkau telah menembakku, jadi cepat makanlah aku, tapi jangan ganggu anakku. Biarkan ia hidup dan bebas!” “Aku mengerti apa yang sedang engkau minta,” jawab pemburu tadi, “tapi aku berencana untuk membawa anakmu pulang, membesarkannya, dan membuatnya sehat dan gemuk. Kelak anakmu juga akan menjadi daging untuk aku makan.” Anak rusa yang masih kecil itu mendengarnya dan berkata, “Duhai manusia, apakah pikiran seperti itu bisa diterima oleh Allah?” Pemburu itu tertawa, “Allah menciptakan binatang untuk dibunuh dan dimakan manusia.” “Duhai manusia, engkau benar. Allah memang menciptakan beberapa makhluk sehingga makhluk-makhluk lain bisa memakannya. Tapi bagaimana tentang dirimu. Jika ada hukum seperti itu untuk kami, maka mungkin juga ada hukum seperti itu untukmu. Pikirkanlah! Hanya ada satu orang yang siap untuk memakanku, tetapi ada banyak orang yang menunggu dengan semangat untuk memakanmu. Tidak tahukah engkau akan hal itu? Kelak, di hadapan Allah Yang Maha Esa, tempayak, cacing, serangga kecil di neraka, dan bahkan bumi itu sendiri akan sangat senang untuk melahapmu. Engkau yang adalah umat manusia harus berpikir tentang hal ini. Ketika kami para rusa ini terbunuh, kami dimakan segera, tetapi ketika engkau meninggal, engkau akan dimakan di neraka dengan cara yang begitu pelan, dalam periode waktu yang panjang. Engkau akan takluk pada neraka selama banyak generasi baru. Duhai manusia, Allah menciptakan aku dan dirimu. Engkau adalah manusia. Allah menciptakanmu dari tanah, api, air, udara dan eter. Aku adalah seekor binatang, tetapi Allah menciptakan aku dari unsur-unsur yang sama ini. Engkau berjalan dengan dua kaki, sedangkan aku berjalan dengan empat kaki. Meskipun warna dan kulit kita berbeda, namun daging kita sama. Berpikirlah tentang banyak cara dimana kita serupa! Jika seseorang membunuh ibumu pada saat engkau sedang menyusu, bagaimana perasaanmu? Sebagian besar orang akan merasa kasihan jika mereka membunuh seekor rusa dengan anaknya. Mereka akan berteriak, ‘Oh, aku tidak tahu!’ Tapi engkau tampaknya tidak mempunyai belas kasihan sama sekali. Engkau seorang pembunuh. Engkau telah membunuh begitu banyak nyawa tapi tidak pernah berhenti, untuk berpikir betapa sedih engkau nantinya jika seseorang membunuh ibumu. Malah engkau senang untuk membunuh tidak hanya ibuku, tetapi juga ingin membunuhku dan menyantapku. Karena engkau manusia, maka seharusnya berpikir tentang hal ini! Bahkan binatang yang paling kejam dan buas pun, mau berhenti untuk berpikir tentang apa yang telah aku katakan. Tidak dapatkah engkau memahami kesedihan seorang anak yang ibunya baru saja dibunuh? Apa yang engkau katakan kepada ibuku dan padaku, sangat menakutkan dan telah membuatku sangat menderita. Duhai manusia, engkau tidak mempunyai belas kasih Allah. Engkau bahkan tidak mempunyai hati nurani manusiawi. Engkau minum darah dan makan daging binatang-binatang sepanjang hidupmu tanpa menyadari apa yang telah engkau perbuat. Engkau menyukai daging dan suka membunuh. Jika engkau mempunyai hati nurani atau rasa keadilan, jika engkau dilahirkan sebagai umat manusia sejati, maka engkau akan berpikir tentang hal ini. Allah sedang melihatku dan kau. Kelak hari nanti, keadilan dan kebenaran-Nya akan menyelidiki hal ini. Engkau harus menyadarinya! Meskipun engkau seorang manusia, pikiranmu jauh lebih buruk daripada binatang berkaki empat. Jangan anggap dirimu adalah umat manusia. Kami jelas tidak menganggap demikian. Engkau mempunyai wajah manusia tapi bagi kami, kau lebih buruk daripada seekor binatang yang paling berbahaya dan bengis di hutan. Ketika kami melihatmu, kami takut. Tapi ketika kami melihat manusia sejati, kami tidak takut. Kami mungkin bahkan berjalan mendekatinya, karena kami seperti anak-anak kecil yang memeluk siapa saja seperti mereka memeluk ibunya. Duhai manusia! Aku hanyalah seekor anak binatang. Jika aku berbaring dengan tidak sengaja di atas seekor ular berbisa, maka ular berbisa ini tidak akan melukaiku. Atau jika aku tidak sengaja menginjak seekor ular, ular itu pun tidak akan melukaiku karena ia sadar bahwa aku masih muda. Bahkan serangga pun mengetahui bahwa aku masih kecil dan tidak akan menyengatku. Jadi bagaimana kau bisa melakukan hal seperti ini, duhai manusia? Engkau yang telah dilahirkan sebagai manusia harus memikirkan perbuatanmu! Sangatlah kejam untuk memeliharaku sebagai binatang piaraan hanya untuk memangsaku di hari kemudian. Setiap hari ketika kau memberiku makan, aku akan berpikir, ‘Aku mungkin dimakan esok hari.’ Hal ini akan menyiksaku terus-menerus. Hari demi hari, badanku, kegembiraanku, dan kehidupanku akan menurun. Pada akhirnya, semua yang akan tersisa dariku adalah kulit dan tulang. Aku akan kurus dan jatuh terkulai. Aku akan tidak berguna sama sekali bagimu. Aku akan terlalu sedih untuk hidup, jadi bunuh saja aku dan makanlah aku sekarang juga! Sebaiknya makan aku pada saat yang sama kau makan ibuku. Jika kau membunuhku sekarang sebelum mengalami penderitaan itu, setidaknya kau bisa menikmati daging muda tanpa dosa yang telah minum air susu ibunya. Nanti, aku tidak akan punya daging. Jangan membuatku menderita lebih lama lagi. Bunuhlah aku sekarang juga, agar aku menderita satu hari saja! Aku terlalu sedih untuk membicarakan lagi tentang hal ini.” “Wahai anak rusa, segala yang telah kau katakan adalah benar,” kata pemburu tadi. Kemudian dia dengan pelan-pelan mengangkat tubuh induk rusa dan membiarkan anak rusa tersebut kembali ke tempatnya. Malam itu, pemburu tadi menceritakan kepada para pemburu lainnya mengenai apa yang telah diajarkan anak rusa tersebut padanya. Semua yang mendengar cerita ini menangis. “Sudah begitu sering kita makan daging rusa, tapi sekarang kau ceritakan hal ini pada kita, jadi kita melihat karma yang menimpa kita melalui makanan yang telah kita makan. Tubuh kita dalam keadaan kacau. Sekarang kita menyadari bahwa kita tidak mempunyai belas kasih atau kearifan.” Dan mereka semua memutuskan untuk berhenti makan makanan seperti itu. “Biarkan anak rusa tersebut pergi,” seorang laki-laki berkata. “Tidak, berikan aku rusa itu!” kata laki-laki lainnya. “Aku akan membesarkannya sampai dewasa dan kemudian melepaskannya.” Tapi pemburu tersebut memutuskan untuk membesarkan sendiri anak rusa tadi. Dan selama bertahun-tahun, rusa itu menunjukkan pada pemburu tersebut kasih sayang lebih daripada yang ditunjukkan anak-anaknya sendiri. “Makhluk yang lemah-lembut ini mampu memberikan kasih sayang dan rasa terima kasih yang lebih banyak daripada umat manusia,” pikir laki-laki tersebut. “Rusa ini mencium dan menjilatiku serta mengeluarkan suara yang menyenangkan ketika aku menyuapinya. Dan bahkan rusa ini tidur di kakiku.” Sehingga tahun-tahun berlalu sampai rusa ini sepenuhnya dewasa. Kemudian pada suatu hari, laki-laki tersebut membawanya ke dalam hutan dan membebaskannya. Anak-anakku, kita masing-masing harus sadar tentang segala sesuatu yang kita lakukan. Semua binatang yang masih muda memiliki cinta dan belas kasih. Dan jika kita ingat bahwa setiap ciptaan pernah muda, maka kita tidak pernah membunuh nyawa lain. Kita tidak akan membahayakan atau menyerang makhluk hidup lain. Anak-anak dan cucu-cucuku, pikirkanlah tentang hal ini. Jika kita berpikir dan bertindak dengan kearifan ini, maka ini akan sangat bagus bagi kehidupan kita. Salam sayangku padamu.

Senin, 04 Juni 2012

Al-Fatihah Ayat 6-7

Jalan Yang Lurus Itu...... "Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat" Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah). Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma'rifat dari nikmat mahabbah. Sedangkan keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau sirna. Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan "menyatu" dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran, bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan segala hal selain Allah adalah batil dan hancur. Jalan menuju kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah. Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya, yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah. Mereka yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily: "Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya, kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama ke-Bathinan-Nya." "Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai" Orang-orang yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa fisik,jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan syurgawi belaka,janji-janji tentang bidadari dan istana, sehingga mereka mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh. "Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat" Orang-orang yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. Mereka tertutupi oleh penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan. Sedangkan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’ an: "Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga." Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin. Karena itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi horisontal dan sekaligus vertikal. Kita senantiasa berdoa agar diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi antara syari'at dengan hakikat melalui tarekat sufi. Syari'at adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita menyaksikan Allah. Amien.

Al-Fatihah Ayat 4-5

"Hanya kepada-Mu kami menyembah" "Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan" Ayat pertama merupakan ayat “pertemuan antara Allah dengan hamba-Nya”. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT. berbicara tentang dirinya sendiri, maka pada ayat inilah terjadi suatu sinergi ubudiyah hamba Allah kepada-Nya. Tetapi menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Jawahirul Qur'an, seluruh kandungan Al-Fatihah ini, masuk kategori ayat-ayat Jawahir. Ayat-ayat Jawahir adalah ayat-ayat Mutiara, di mana muatannya mengandung nilai-nilai Uluhiyah yang sangat tinggi. Sementara ayat-ayat Durar atau ayat-ayat permata, lebih merupakan ayat yang berkait dengan makhluk Allah SWT. "Iyyaaka Na‘budu" dalam perspektif sufistik merupakan bentuk ubudiyah hamba Allah dalam situasi "Al-Fana". Situasi di mana hamba Allah lebur dalam nuansa, seakan-akan dirinya hangus dalam Ilahi, tiada daya, tiada upaya, tiada sesuatu yang dihadapi lahir maupun batin, kecuali Allah SWT. Ayat ini memberikan gambaran akan Kemahatunggalan Allah, sehingga manusia bebas dari kemusyrikan. Dalam kitab Fathur-Rahman disebutkan, "Sesungguhnya kalian semua berada dalam kemusyrikan tersembunyi, kecuali jika dirimu keluar dari dirimu, Sehingga tiada yang berbuat, tiada yang berdaya, tiada yang berupaya, kecuali Allah SWT. Itu sendiri." Seorang sufi berkata, "Hakikatmu adalah keluarmu darimu", Wacana ini untuk menggambarkan betapa manusia hanyalah"Bayang-bayang Allah", tidak ada klaim bahwa dirinya ada dalam hakikatnya. Pandangan ini berbeda dengan aliran eksistensialisme yang menonjolkan kekuatan diri manusia bagi eksplorasi kehidupan maksimal. Semakin kuat dirinya, rasa keberadaannya, semakin kuat egonya dan pengabaiannya terhadap dzat di luar dirinya, yaitu Allah SWT. "Iyyaaka Na'budu" berarti hanya kepada-Mu kami menyembah. Menyembah kepada Allah secara total berarti makrifat kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika menafsiri ayat yang berbunyi: "Wamaa khalaqtul Jinna wal-Insa illa liya'budun", seorang penafsir sufi mengatakan, "Maksudnya illaa liya'rifuun". Sehingga penafsirannya, "Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka bermakrifat kepada-Ku". Makrifatullah itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, melalui etika ubudiyah dan keyakinannya kepada Allah melalui jalan Islam, Iman dan Ihsan. Sedangkan "wa-iyyaaka nasta'iin, "berarti sang hamba lebur dalam Musyahadah kepada Allah SWT. Di sinilah Abu Yazid Al-Busthami menyebutkannya sebagai "wahdatusy-syuhud", bukan "wahdatul wujud". Wahdatusy-syuhud, yang berarti "kesatuan dalam penyaksian". Yang bersatu adalah penyaksiannya, bukan wujudnya. Atau bisa berarti "seakan-akan bersatu". Inilah maqam Ihsan, sebagai puncak ubudiyah, yang kelak disebut 'abudah. Maqam Ihsan ini bisa disebut sebagai pangkal dari kefanaan hamba Allah, yaitu setelah melampaui fana', fanaul fana' kemudian baqa'. Dalam Hadits Shahih Rasulullah SAw. bersabda, "Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya engkau senantiasa dilihat oleh-Nya." Hamba Allah yang melihat Allah, pasti dirinya fana' dan hanya Allah saja yang baqa' (abadi). Hal yang sama hamba Allah yang senantiasa merasa dilihat Allah, dirinya tidak "berkutik". Gerak geriknya bukan lagi gerak-gerik "milik"nya, tetapi tidak lepas dari peran Allah SWT. Pada ayat di atas itulah ada relevansi dengan Hadits Qudsi yang disebutkan oleh Allah SWT., "...Apabila Aku mencintainya (hamba-Ku), maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengarkannya, dan Aku adalah penglihalannya yang dengannya hamba-Ku melihalnya, dan Aku adalah tangannya yang dengan tangan itu hambaKu memukul, serta Aku adalah kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika ia memohonAku mengabulkannya, dan jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku melindunginya"…

Al-Fatihah Ayat 1-3

"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam" "Yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah" "Yang menjadi Raja di hari agama" "Alhamd" (Puji) baik secara aktual maupun verbal adalah bentuk dari manifestasi keparipurnaan dan suksesnya suatu tujuan, dari segala yang ada. Sebab Hamdalah itu merupakan bentuk dari pujian pembuka, sekaligus merupakan pujian indah bagi yang berhak mendapatkannya. Segala yang maujud ini secara keseluruhan merupakan keistemewaan dan kekhasan, disamping semuanya berorientasi pada tujuan dari pujian itu sendiri. Seluruh keparipumaan muncul dari potensi-potensi menjadi aktual, dan semuanya senantiasa menyucikan dan memuji-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah swt: "Tak satu pun dari segala yang ada kecuali selalu bertasbih dan memuji-Nya". Bentuk tasbihnya adalah penyuciannya dari dualitas, dari sifat-sifat yang kurang dan lemah, dengan hanya menyandarkan kepada-Nya saja, memberikan petunjuk atas Ketunggalan dan Kekuasaan-Nya. Bentuk dari pujian jagad raya ini adalah penampakan keparipurnaannya pada struktur jagad secara tertib ini, kemudian memanifestasi pada sifat-sifat Jalaliyah (Keagungan dan kebesaran) dan sifat-sifat Jamaliyah (Keindahan). Jagad raya senantiasa memiliki kesadaran darimana awal mulanya, bagaimana penjagaan atas kelestariannya dan pengaturannya, sebagai cermin konotatif dari arti hakiki Rububiyah bagi semesta alam. Yakni bagi segala sesuatu yang terkandung dalam Ilmu Allah. Seperti sebuah tanda bagi yang ditandai, Juga mengandung makna globalitas keselamatan yang penuh karena mengandung arti Ilmu dan sekaligus mengandung makna mengalahkan. Yang terkandung itu juga berarti kebajikan-kebajikan yang umum maupun khusus. Yaitu nikmat lahiriyah maupun nikmat batiniyah. Nikmat lahiriyah seperti kesehalan dan rizki, sedangkan nikmat batiniyah seperti pengetahuan dan ma'rifat. Dari segi pengertian totalitasnya adalah makna dari sifat Diraja bagi segala sesuatu yang ada di hari akhir. Sebab tidak ada yang memberikan batasan kecuali Dzat Yang Disembah, dengan pahala nikmat abadi, jauh dari kefanaan di saat zuhudnya hamba, dan ketika Af'al Allah Tajalli saat af'al hamba sirna, penggantian sifat hamba oleh sifat Nya ketika hamba dalam kondisi keterhangusan, secara otomatis pengabadian melalui Dzat-Nya, dianugerahkan wujud hakiki ketika dalam kefanaan hamba. Maka pujian dengan segala substansinya itu mutlak hanya bagi Allah Ta'ala, secara azali maupun abadi menurut proporsi hak hamba melalui Dzat-Nya. Jika digambarkan permulaan dan akhir dari tujuan, serta unsur diantara awal dan akhir dalam ungkapan tahapan Al-Jam'u (terglobalisir), maka bisa diurai sebagai berikut: Bahwa Allah itu adalah Yang Memuji, dan Yang dipuji, baik dari segi terglobalisir maupun terinci. Abid dan Ma'bud juga demikian, awal sekaligus akhir. Ketika Allah ber-tajalli terhadap hamba-Nya dalam kalam-Nya, melalui Sifat-sifat-Nya, maka sang hamba menyaksikan-Nya dengan penuh keagungan dan kharisma-Nya, para hamba menyaksikan keparipurnaan kuasa-Nya dan kebesaranNya. Lalu para hamba itu berbicara kepada-Nya baik melalui ucapan maupun tindakan melalui bentuk ibadah terhadap-Nya. Lalu mereka meminta pertolongan kepada-Nya, sebab tak ada yang lain untuk disembah kecuali hanya Dia. Tak ada upaya dan daya kekuatan bagi seorang pun kecuali atas izin-Nya. Maka seandainya para hamba itu mampu hadir (di hadiratnya) niscaya gerak dan diamnya pun merupakan ibadah bagi-Nya dim bersamaNya. Mereka dalam shalat-shalatnya senantiasa langgeng, mendoa dengan lisan cinta atas penyaksian mereka pada Kemahaindah-Nya, dari sisi mana saja dan dimana pun mereka berhadap.

Parfum Penguat Iman

Sejumlah assesoris jiwa mulai dipasarkan di Kafe Sufi. Selain sejumlat perangkat ibadah, yang banyak diburu adalah Parfum. Kafe Sufi layaknya sebuah “The Parfum Garden” bagi jiwa yang sudah mulai berbau apek, hati yang sudah mulai berbau amis oleh lelehan hawanafsu, dan bau-bau kekeroposan hati yang menua oleh virus-virus syetan. Tampaknya mereka semua butuh parfum yang benar-benar mengembalikan aroma jiwa yang membahagiakan, aroma syurgawi yang semilir bersama nafas-nafas bidadari. Parfum ini tentu campuran dari berbagai jenis parfum jiwa yang tiada tara, bahkan disarikan dari bunga-bungan langit, dan pohon-pohon ma’rifat, serta akar-akaran tauhid yang ditanam di tanah yaqin. Di Kafe Sufi disediakan bahan-bahan bakunya, lalu sekaligus cara mencampurnya. Bahan-bahannya antara lain: Empat lembar daun yang dikeringkan oleh sifat-sifat ‘Ubudiyah: Daun kefakiran; daun kehinaan; daun ketakberdayaan dan daun kelemahan. Lalu ditumbuk jadi satu hingga bertepung lembut. Tujuh bunga dari pohon Uns (kemesraan dengan Allah); pohon Taqarrub; pohon Husnudzon Billah; pohon Syukur; pohon Ridho; pohon Yaqin dan Pohon Mahabbah. Semua dilembutkan jadi satu. Lalu direbus di atas api yang membakar nafsu; minimal setiap lima waktu, dengan airnya dari Taubatan Nasuha. Kemudian disuling dengan puisi-puisi munajat kecintaan dan ketakberdayaan. Tuangkan dalam botol-botol kerinduan pada Sang Kekasih. Insya Allah Parfumnya menguatkan iman kita.

Distro Kaum Sufi

Rupanya di Kafe Sufi mulai di lauching produk yang sangat ditunggu-tunggu. Yaitu Distro Sufi. Para pengkafe sangat gembira dan penuh suka cita, apabila Distro Sufi ini benar-benar terwujud. Karena dengan menggunakan pakaian dari Distro Sufi ini, nafsunya akan terkendali, jiwanya akan bersih, imannya akan kuat, dan Islamnya terwujud dalam keseharian bersama Allah Ta’ala. Di luar dugaan yang mengantre untuk membeli distro berjubal mengalahkan antre tiket sepak bola. Tapi mereka tampak tertib dan khusyu’. Semakin tidak khusyu’ hatinya, tidak khudhu jiwanya, semakin jauh dari u[paya untuk mendapatkan pakaian bersih di Distro itu. “Saudara-saudara sekalian“, kata manajer Kafe membuka acara launching. “Kita akan membuka acara yang kita tunggu-tunggu dengan penuh sabar dan ridho. Untuk itulah kami memuqoddimahi acara ini dengan sebuah kisah, ketika malam Lailatul Qadar, malam yang agung, tiba-tiba Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily Sang Sulthonul Auliya’ bertemu Rasulullah saw, dan bercerita, “Semalam aku bertemu rasulullah saw, dan beliau Rasulullah saw, bersabda padaku: “Wahai Ali, bersihkan bajumu dari kotoran, engkau akan mendapatkan anugerah Allah di setiap nafasmu.” “Wahai Rasulullah, bajuku yang mana itu?” tanyaku. Maka rasulullah saw, bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberimu lima pakaian: 1. Pakaian Cinta 2. Pakaian Ma’rifat 3. Pakaian Tauhid 4. Pakaian Iman 5. Pakaian Islam. * Siapa yang m,encintai Allah swt, segalanya akan terasa hina. * Siapa yang ma’rifat kepada Allah swt, segala sesuatu menjadi kecil. * Siapa yang bertauhid kepada Allah swt, ia tidak akan musyrik selamanya. * Siapa yang beriman kepada Allah swt, ia aman dari segalanya. * Siapa yang Islam hanya bagi Allah, akan sedikit maksiatnya, dan jika maksiat ia langsung memohon ampun kepadaNya. Jika memohon maaf diterimalah maafnya.” “maka saat itulah aku faham apa yang difirmankan Allah Azza wa-Jalla,: “Makasucikanlah bajumu.” Usai pidato pembukaan itu, sang manajer Kafe lalu tersentyum dengan senyuman yang serasa luas bagai lautan. Teduh, dalam, dan mendamaikan. Para pengkafe baru faham, apa sesungguhnya Distro Sufi yang hakiki.

Makanan Tambahan Semua Mukmin Sejati

Malam Jum’at ini ada makanan tambahan bagi Mukmin Sejati yang ingin terus meraih kesehatan jiwa. Inilah yang membuat Kafe Sufi terus dikunjungi oleh para peminat fanatiknya. Bagaimana tidak? Makanan ini dipetik dari buah-buhan yang dipanen di musim sunyi dan lapar jiwa. Pohonnya bernama Pohon Ma’rifat, yang ditanam oleh Allah swt, dalam ladang qalbu hambaNya yang beriman. Allah swt senantiasa menyiapkannya dengan kemuliaanNya dan setiap saat dikirimkan awan hujan anugerah dari perbendaharaan rahmat, lalu meneteslah tetesan hujam kemuliaan melaui petir Qudrat dan kilatan-kilatan kehendakNya, agar hati hamba bersih dari kotoran-kotoran pandangan terhadap prestasi ubudiyah. Lalu Allah swt mengirimkan indahnya kelembutan kasih sayang dari tirai pertolonganNya agar seseorang sempurna kewaliannya melalui perlindungan dan penjagaan jiwanya. Sang arif selamanya thawaf dengan batinnya di bawah lindungan pohon ma’rifat, mencium aromanya, dan memangkasnya dengan pemangkas adab, agar pohon itu selamat dari penyakit dan virus-virus yang merusaknya. Bila begitu lama batin sang airf ada di bawahnya, dan terus menerus ia memutarinya, ia ingin menikmati buah-buahnya, lalu tangan sucinya menjulur, lalu memetiknya dan dengan wadah kemuliaan, lalu dimakannya dengan mulut kerinduan, sampai ia terhangatkan oleh api kemabukan, lalu ia memukul-mukulkan tangan hamparan anugerah hingga sampai ke lautan cinta, kemudian ia memnium steguk yang membuatnya linglung dari segala hal selain Allah Ta’ala. Mabuk yang tak bisa sadar kecuali karena upaya memohon pertolongan. Kemudian ia terbang dengan sayap-sayap cita, menembus alam yang tak pernah bisa dipahami oleh imajinasi para makhluk. Sang pelanggan ketika ditanya, “Makanan apa yang paling menarik anda?” “Sesuap dari dzikrullah, yang dihidangkan dengan tangan yaqin, dari hidangan makanan keabadian, ketika sedang husnudzon kepada Allah Ta’ala,” jawabnya. Yang lain, berkata, “Kebanyakan penghuni dunia keluar dari dunia, sementara mereka belum merasakan keindahan yang dituju.” “Keindahan apakah itu?” “Kebahagiaan ma’rifat, manisnya anugerah, kenikmatan qurbah, dan kemesraan cinta,” jawabnya. Subahanallah nikmatnya minta ampuuun.