Sabtu, 10 Desember 2011

Terapi Riya'

Apabila Anda telah mengenal esensi riya’ sedemikian rupa, dan begitu banyak celah-celahnya, Anda harus segera mencari terapinya. Di antara terapinya, untuk melawan faktor-faktor penyebab riya’ (cinta pujian; takut dicaci; dan tamak) sebagai berikut:
Terapi cinta pujian, seperti orang yang menerjang barisan musuh agar dipuji sebagai pemberani atau menampakkan semangat ibadat agar dipuji sebagai wara’; maka, terapinya sama dengan terapi cinta tahta.ia harus tahu bahwa cinta pujian itu hanya semu, bukan hal yang hakiki. Dalam konteks riya’, khususnya, la harus mengikrarkan dirinya bahwa riya’ mengandung bahaya. Madu, walaupun sangat manis, apabila terkena racun, sisanya akan rusak.

Seorang hamba harus ikrar kepada diri sendiri, bahwa pada saat miskinnya, akibat riya’ tersebut, sering dipanggil, “Hai pengecut, hai penyimpang, kamu telah menghina Allah swt, kamu lebih dekat dengan hamba-hamba-Nya, dan lebih cinta mereka. Kamu telah membeli pujian mereka dengan caci-maki Allah swt, kamu telah mencari ridha mereka dengan dendam Allah swt.; Adakah yang lebih mulia di sisimu daripada Allah swt.?”

Rasanya tidak ada lagi tindak preventif terhadap riya’; kecuali cacian yang memalukan seperti itu. Bagaimana tidak? Karena riya’ merupakan perbuatan yang mengumpulkan berbagai siksaan dan menghapus ibadat. Riya’ telah mengunggulkan keburukan, setelah sang hamba menghimpun kebaikan. Dan riya’ itulah yang menyebabkan hancurnya amal.

Seorang hamba hendaknya ikrar kepada diri sendiri, bahwa mencari ridha manusia, tidak akan pernah dicapainya. Siapa yang mencari ridha manusia dengan dendam Allah swt, Dia akan mendendamnya. Bagaimana jadinya, meninggalkan ridha Allah dengan ganti sesuatu yang tidak pernah diraihnya?

Terapi atas motivasi riya’ berikutnya adalah motivasi takut dicaci-maki. Seorang hamba harus ikrar kepada dirinya, bahwa caci-maki orang tersebut tidak berbahaya, apabila memang terpuji di sisi Allah swt. Dia tidak boleh menentang cacian dan murka Allah swt. demi menghindari cacian manusia.

Kalau saja orang-orang itu mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam hatinya, yang dipenuhi riya’, pasti mereka murka. Allah pun menolaknya, apalagi bila rahasia riya’nya terbongkar, manusia akan murka kepadanya, setelah mendapat murka Allah swt. karena kemunafikannya.

Sebaliknya bila la ikhlas, walaupun orang-orang menentang, tetapi lebih memprioritaskan pandangan Allah swt, pasti tersingkap keikhlasan itu dan orang-orang itu kelak juga akan menyenanginya.

Anda mungkin masih bertanya, “Saya telah ikrarkan semua itu pada diri saya, hati saya telah lari dari riya’, namun kadang-kadang riya’ muncul secara tiba-tiba dalam sebagian ibadat saya, di saat orang lain melihat. Bagaimana terapinya?”

Ketahuilah, terapinya secara mendasar, Anda harus menyamarkan ibadat Anda, seperti Anda menyembunyikan perbuatan buruk Anda. Anda pasti selamat.

Diriwayatkan, bahwa sebagian murid Abu Hafsh Al-Haddad mencaci dunia dan para pengabdi dunia. Maka Abu Hafsh berkata kepada murid tersebut, “Engkau menampakkan jalan yang engkau tempuh yang seharusnya engkau samarkan. Sejak saat ini jangan menghadiri majelis kami.”

Menyamarkan ibadat, terasa berat pada permulaannya. Manakala telah menjadi biasa, akan melunakkan watak dalam kelezatan munajat saat khalwat.
Apabila muncul riya’ seketika, terapinya adalah Anda memperbarui hati sebagaimana semula, dengan mengetahui bahwa riya’ akan menimbulkan murka Allah swt.
Disamping itu orang lain amat lemah, dan tidak memberi manfaat serta madharat karena riya’ Anda. Sehingga Anda benci dengan riya’ tersebut.
Nafsu, memang mengajak berlaku riya’ dengan pura-pura beramal sebaik-baiknya, dan merasa gembira dengan amal tersebut. Sementara sikap membenci riya’, akan menolak dan menentang tindakan seperti itu. Tentunya, orang yang kuat hatinya mampu menguasai dirinya.

Jika rasa benci yang bisa menghalangi kecenderungan riya’ dari diri Anda, sehingga Anda lebih memprioritaskan perilaku seperti itu, tidak lebih dan tidak kurang, tidak dipaksa untuk menampakkan perbuatan, Anda telah mampu membendung dosa. Selebihnya Anda tidak dibebani oleh tindakan lain. Sementara menolak bisikan-bisikan dari naluri yang cenderung pada tanggapan manusia, tidak dikategorikan taklif. Taklif di sini hanya terbatas pada sikap benci dan menolak dari ajakan-ajakan riya’.

Adapun menampakkan ketaatan, agar diikuti orang lain, dan untuk memberi semangat taat bagi mereka, apabila niatnya benar, tidak diiringi nafsu yang tersembunyi, masih ditolerir. Tanda-tandanya, la bisa mengukur orang lain, apabila mereka mengikuti salah satu pengikutnya dan cukup sekadar bertujuan memotivasi agar senang taat saja, dan diberi informasi jika pahala ibadat dengan samar sama pahalanya dengan terang-terangan, maka ia jangan menyenangi ibadat yang terang-terangan di hadapan orang lain.

Tetapi jika ia punya tendensi agar pengikutnya lebih banyak, berarti ada motif riya’nya. Sebab jika motivasinya adalah rasa bahagia karena orang lain, la akan mendapatkan yang lain, dan tidak ada yang diperoleh, kecuali penonjolan diri saja.

Diperkenankan pula menutupi dosa dan kemaksiatan yang pernah dilakukan, dengan syarat tujuannya tidak untuk disangka sebagai orang wara’ atau fasik. Tidak mengapa, bila ia merasa senang kalau kemaksiatan dan kesedihannya tertutupi. Senang karena Allah telah menutupi cacatnya, ataupun karena relevan dengan perintah Allah, dimana Allah senang bila kemaksiatan itu tersembunyikan, dan melarang untuk ditonjolkan kepada orang lain.

Ataupun karena tidak senang bila dicaci orang lain, yang membuatnya sedih. Sebab merasa sedih karena cacian orang lain itu tidak haram. Bahkan sedih semacam itu memang naluriah.
Yang diharamkan justru merasa gembira dengan pujian orang terhadap dirinya karena ibadatnya. Rasa gembira itu sudah seperti pahala yang telah diambil dari ibadatnya (karena itu, tidak ada pahala lagi).

Kadang-kadang menyembunyikan dosanya karena merasa malu jika tampak perbuatannya. Rasa malu itu bukanlah riya’. Tetapi, kadang-kadang rasa malu memang bercampur riya’. Sedangkan meninggalkan ketaatan karena takut riya’, sungguh tidak beralasan.
Al-Fudhail berkata, “Riya’ adalah meninggalkan amal karena takut riya’. Sementara amal karena tendensi terhadap orang lain adalah syirik” Seharusnya la tetap beramal dan ikhlas melakukannya. Kecuali amal yang berkaitan dengan orang banyak, seperti dalam pengadilan, kepemimpinan dan nasihat.

Apabila dirinya sudah terlibat di dalam amaliah tersebut, kemudian tidak mampu menguasai diri, bahkan condong pada nafsu, la harus berpaling dan menjauhi. Begitulah yang dilakukan kalangan salaf.
Ibadat salat dan zakat juga tidak bisa ditinggalkan, kecuali secara mendasar memang tidak diniati ibadat. Bahkan kalau semata karena riya’, ibadatnya tidak sah, dan harus ditinggalkan.
Bagi yang sudah melakukan tradisi ibadatnya, tiba-tiba muncul kekhawatiran riya’ karena hadirnya orang banyak, ibadatnya tidak boleh ditinggalkan. Hendaknya orang tersebut berjuang melawan dorongan riya’nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar