Senin, 05 Desember 2011

Kesempurnaan Dalam Sama'

Syeikh Abu Nashr As-Sarraj

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya pernah mendengar Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad ketika di Basrah, yang mengatakan: Saya mendengar ayah saya berkata:
Saya telah melayani Sahl bin Abdullah selama enam puluh tahun dan saya tidak pernah melihat adanya perubahan pada dirinya ketika ia mendengar dzikir, bacaan al-Qur’an dan sebagainya.

Tapi ketika menjelang akhir hayatnya, ada seseorang membacakan ayat berikut ini:
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (Q.s. al-Hadid: 15).



Saya melihatnya gemetar dan hampir terjatuh. Ketika ia kembali sadar, saya tanyakan hal tersebut, lalu ia menjawab, “Ya, wahai saudaraku, saya sudah lemah.”

Ibnu Salim menceritakan dari ayahnya yang mengatakan: Suatu ketika saya pernah melihat Sahl bin Abdullah, sementara saya berusaha menghangatkan tubuh dengan api yang ada di depannya. Kemudian salah seorang muridnya membacakan surat al-Furqan, dan ketika sampai pada ayat:

“Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah.” (Q.s. al-Furqan: 26).

Ternyata ia tiba-tiba gemetar dan hampir terjatuh. Lalu saya menanyakan hal itu, sebab sebelumnya saya tidak pernah mengenal kondisi yang terjadi seperti itu. Akhirnya ia menjawab, “Saya sudah lemah.”

Saya juga pernah mendengar Ibnu Salim berkata: Saya pernah mengatakan kepada Sahl bin Abdullah —rahimahullah— suatu pembicaraan yang maknanya adalah berikut, “Apabila maksud dan apa yang Anda katakan, bahwa kondisi spiritual Anda sudah lemah, Anda maksudkan perubahan pada diri Anda dan gemetar yang terjadi pada diri Anda, lalu apa yang menjadikan kondisi spiritual itu kuat?” Maka ia menjawab, “Setiap kali ada warid yang datang kepadanya mesti akan ditelannya dengan kekuatan kondisi spiritualnya. Oleh karenanya warid apa pun yang datang kepadanya tidak sanggup mengubahnya sekalipun ia sangat kuat.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan: Oleh karenanya, merupakan landasan dasar dalam ilmu adalah apa yang pernah dikemukakan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. tatkala mendengar seseorang menangis ketika membaca al-Qur’an, “Demikianlah kita, sehingga hati kita keras.” Yakni kuat dan kokoh, maka tidak terjadi perubahan apa pun ketika telinga kita terketuk oleh macam sama’ apa pun, sebab kondisi spiritualnya sebelum dan sesudah sama’ adalah sama.

Sementara itu menurut makna yang lain adalah, bahwa Sahl bin Abdullah —sebagaimana yang diceritakan— pernah berkata, “Kondisi spiritual saya ketika sedang shalat dan sebelumnya adalah sama.” Itu disebabkan ia selalu memelihara hatinya dan selalu muraqabah kepada Allah Swt. dengan rahasia hatinya sebelum ia shalat dan ketika melakukan shalat ia tetap muraqabah kepada Allah dengan menghadirkan hati dan mengumpulkan seluruh niatnya. Maka ketika ia sedang shalat kondisinya sama dengan sebelum shalat. Sehingga kondisi spiritualnya sebelum dan ketika sedang shalat adalah satu kondisi. Demikian halnya kondisi spiritualnya sebelum dan sesudah sama’ adalah dalam kondisi yang sama. Maka sama’ dan wajd-nya selalu berkesinambungan, ia selalu haus dan selaalu minum, semakin banyak minum maka akan semakin haus, dan ketika semakin haus maka akan semakin banyak minum, sehingga tidak akan pernah terputus untuk selamanya.

Saya pernah mendengar Ahmad bin Ali al-Karaji, yang lebih dikenal dengan panggilan al-Wajihi mengatakan: Sekelompok kaum Sufi sedang berkumpul di kediaman Hasan al-Qazzaz, dan di antara mereka terdapat orang-orang yang baik dalam mengungkapkan kata-kata (penyair), mereka saling mengungkapkan kata-kata dan berusaha untuk bisa wajd. Mereka selalu diawasi oleh Mumsyadz ad-Dinawari. Ketika mereka melihatnya maka seluruhnya diam. Lalu Mumsyadz berkata, “Mengapa kalian diam? Teruskan apa yang sedang kalian lakukan, andaikan seluruh hiburan dunia diperdengarkan di telingaku, maka hal itu tidak akan sanggup mengganggu kekuatan niatku dan tidak bisa menyembuhkan apa yang ada pada diriku.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan: ini juga merupakan sebagian dari sifat-sifat orang-orang yang memiliki kesempurnaan (ahlul-kamal), bahwa tidak ada sisa sedikitpun bagi sesuatu yang datang mengetuk telinga mereka dan tidak tertinggal suatu perasaan dalam tabiat, jiwa dan sifat-sifat manusiawinya melainkan perasaan itu diganti dan dididik. Jiwa mereka tidak mengambil kesenangan-kesenangan dari lagu-lagu yang didengar, tidak pula merasakan kenikmatan dari suara-suara yang indah, sebab semangat mereka memang berbeda, rahasia hati mereka bersih, sifat-sifat mereka tidak tercemar oleh noda perasaan, kegelapan nafsu, perubahan sifat-sifat manusiawi dan persahabatan dengan orang lain, “Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. al-Jumu’ah: 4).

Diceritakan dari Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— bahwa pernah dikatakan kepadanya, “Anda mendengar kasidah-kasidah ini, dan Anda juga hadir bersama sahabat-sahabat Anda di waktu sama’, Anda pada saat itu bergerak, namun sekarang Anda tenang seperti ini.” Maka al-Junaid membacakan ayat berikut:

“Dan kamu melihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) ciptaan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu.” (Q.s. an-Naml: 88).

Maka sepertinya ia memberi isyarat atas pertanyaan di atas—Dan hanya Allah Yang Mahatahu. Yakni kalian hanya melihat tenangnya tubuh saya secara lahiriah, namun kalian tidak paham di mana saya dengan hati saya.

Ini juga termasuk di antara sifat-sifat orang-orang yang memiliki kesempurnaan dalam sama’.

Syekh Abu Nasr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan: Barangkali mereka hadir di tempat-tempat yang ada sama’ karena berbagai kondisi spiritual dan aspek yang beragam. Atau mungkin mereka berkumpul dengan tujuan untuk membantu seorang teman, atau hadir disebabkan ilmu, kegigihan dan kebesaran akal mereka, sehingga mereka diberitahu tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban serta syarat-syarat dan etika dalam sama’. Atau barangkali mereka berkumpul dengan orang-orang yang bukan kelas mereka karena keleluasaan akhlak dan sikap mereka. Sehingga batiniah mereka jauh berbeda dengan orang-orang yang berkumpul dalam majelis, sekalipun secara lahiriah mereka bisa duduk bersama. Smoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar