Senin, 05 Desember 2011

Sama'nya Para Pemula

Syeikh Abu Nashr As-Sarraj

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahirnahullah— berkata: Saya mendengar al-Wajihi mengatakan: Saya mendengar ath-Thayalisi ar-Razi berkata: Saya pernah datang kepada Israfil, guru Dzun Nun al-Mishri —rahimahullah— yang sedang duduk sendirian sambil mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya ke tanah dengan melagukan sesuatu. Ketika melihat saya ia berkata, “Apakah Anda bisa mengatakan sesuatu dengan baik?” Lalu saya katakan, “Tidak!” Kemudian ia berkata, “Anda tidak memiliki hati.”

Saya mendengar Abu al-Hasan Ali bin Muhammad ash-Shairafi mengatakan: ”Saya mendengar Ruwaim ketika ditanya tentang para guru Sufi yang pernah ia jumpai, “Bagaimana Anda melihat mereka ketika sedang sama’?” Maka ia menjawab, “Mereka seperti sekawanan kambing ketika di tengah-tengahnya ada beberapa srigala.”

Ia berkata: Saya juga pernah mendengar Qais bin Umar al-Himshi bercerita: Abu al-Qasim bin Marwan an-Nahawandi pernah datang kepada kami — dimana ia pernah berteman dengan Abu Said al-Kharraz. Ia telah bertahun-tahun tidak menghadiri ritual sama’, kemudian suatu ketika ia datang bersama kami di suatu undangan yang dalam acara tersebut ada orang yang membacakan beberapa bait syair, yang antara lain adalah bait syair berikut:

Berdiam di air dengan kehausan, akan tetapi ia tidak diberi minum

Kemudian teman-teman kami berdiri dan berusaha untuk wajd. Ketika mereka telah diam dan berhenti, maka masing-masing dari mereka bertanya kepada yang lain tentang makna apa yang terjadi dalam dirinya mengenai bait syair di atas. Maka sebagian besar dari mereka memahaminya dengan suatu makna kehausan akan kondisi spiritual, sementara seorang hamba terhalang dari kondisi spiritual yang sangat dihauskannya. Akan tetapi jawaban itu tidak memuaskannya, akhirnya kami bertanya kepada Abu al-Qasim bin Marwan an-Nahawandi, “Tolong berikan jawaban Anda tentang makna bait tersebut.” Maka ia menjawab, “Ia berada di tengah-tengah berbagai kondisi spiritual dan dimuliakan dengan seluruh karamah (kemuliaan), akan tetapi Allah tidak memberi mereka akan semua itu sekalipun hanya seberat atom.” Atau searti dengan jawaban yang diberikannya.

Saya mendengarYahya bin ar-Ridha al-Alawi ketika di Baghdad bercerita, dimana cerita ini diceritakan kepada saya dengan tulisan tangannya sendiri: Abu Hulman ash-Shufi mendengar seseorang yang sedang berkeliling dan memanggil, “Ya sa’tara bara” (wahai orang yang membeli za’tar), kemudian Abu Hulman terjatuh dan pingsan. Setelah sadar, ia ditanya apa sebenarnya yang terjadi? Maka ia menjawab, “Saya mendengar ia berkata: “Is’a tara birri.” (berusahalah engkau akan melihat kebaikanku).”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Demikianlah yang dikemukakan oleh para guru Sufi tentang masalah ini dan orang-orang yang memahami kisah ini, bahwa sama’ sangat tergantung dengan apa yang ada dalam hati, mulai dari kesibukan, waktu dan kehadirannya. Tidakkah Anda melihat, bahwa suara yang diperdengarkan kepada Abu Hulman tepat pada waktu dan kesibukannya.

Sementara yang menjadikan dalil dari apa yang kami terangkan di atas adalah cerita dari ‘Utbah aI-Ghulam —rahimahullah— bahwa ia mendengar seseorang yang mengatakan:

Mahasuci Dzat Yang Mahaadikuasa atas langit, sesungguhnya orang yang bercinta tentu dalam kesengsaraan.

Kemudian ‘Utbah —rahimahullah— berkata, “Anda benar.” Sementara ada orang lain yang juga mendengar syair tersebut, lalu ia berkata, “Anda bohong.” Kemudian sebagian orang yang memahami masalah ini berusaha mengompromikannya dan mengatakan, “Keduanya benar”, ‘Utbah membenarkannya karena dalam cintanya merasakan kesengsaraan, sedangkan orang yang mengatakannya bohong, sebab dalam cintanya ia menemukan kenyamanan dan kesenangan.”

Dari Ahmad bin Muqatil yang mengisahkan, bahwa Dzun Nun aI-Mishri —rahimahullah— ketika memasuki kota Baghdad, beberapa orang Sufi berkumpul menemuinya dengan membawa seorang penyair yang ahli dalam mengungkapkan kata-kata indah. Kemudian mereka meminta izin kepada Dzun Nun agar orang tersebut diperkenankan mengatakan sesuatu. Ia pun mengizinkannya lalu orang tersebut mulai mengungkapkan syair:

Sekecil apa pun cinta-Mu cukup menyiksaku, bagaimana dengannya bila menguasai
Engkau kumpulkan di hatiku rasa cinta yang benar-benar telah menyatu
Tidakkah kau hibur orang yang sedih
Ketika orang yang sendirian bisa tertawa, maka ia menangis.
Engkau kasihi orang yang kini bersedih hati

Kemudian Dzun Nun —rahimahullah— berdiri dan kemudian jatuh tersungkur pada wajahnya, lalu ada seseorang berdiri yang kemudian Dzun Nun berkata dengan mengutip firman Allah Swt.: “Dzat Yang melihatmu tatkala engkau berdiri.” (Q.s. asy-Syu’ara’: 218).

Kemudian orang itu duduk kembali.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan: Makna firman Allah Swt., “Dzat Yang melihatmu tatkala engkau berdiri.” (Q.s. asy-Syu’ara’: 218). Memberi isyarat bahwa, berdiri dan berebutnya laki-laki tersebut dengan orang lain adalah dengan cara memaksakan diri. Ini bisa diketahui bahwa ia berdiri bukan karena Allah, tapi karena selain Allah. Andaikan laki-laki tersebut jujur dan benar-benar semata karena Allah, maka ia tidak akan duduk kembali ketika Dzun Nun mengucapkan firman Allah tersebut. Ini terjadi karena para guru Sufi, berkat ma’rifat yang mereka miliki selalu mengawasi kondisi spiritual orang-orang yang tingkatan spiritualnya lebih rendah. Mereka sama sekali tidak akan bersikap lunak terhadap orang-orang yang tingkat spiritualnya lebih rendah, bila mereka telah melampaui batas-batas kewenangannya, dan mengaku kondisi spiritual orang lain yang bukan tingkatannya.

Dari Abu al-Husain an-Nun —rahimahullah— bahwa ia pernah menghadiri sebuah majelis sama’, kemudian ia mendengar bait syair berikut ini:

Saya tetap berdiam dalam ruang cinta-Mu, tatkala orang yang punya hati akal bingung kapan lahir cinta-Mu.

Kemudian ia berdiri dan berusaha wajd (tawajud) dan pergi tanpa tujuan sebagaimana orang yang linglung, kemudian ia terjatuh di semak-semak bambu yang habis dipotong dimana sisa-sisa potongannya tajam seperti pedang. Ia berjalan di atas potongan-potongan bambu itu yang kemudian kakinya mengalirkan darah. Kemudian ia dibawa pulang, sementara darah masih mengucur deras dari kedua kakinya sehingga bengkak. Ia hanya bisa bertahan hidup beberapa hari dan akhirnya wafat.

Dikisahkan dari Abu Said al-Kharraz —rahimahullah— yang mengatakan: Saya pernah melihat Ali bin aI-Muwaffaq, seorang guru Sufi yang mulia, menghadiri majelis sama’ kemudian ia mendengar sesuatu lalu berkata, “Bangkitkan aku sehingga bisa berdiri.” Mereka pun membangkitkannya dan kemudian berusaha wajd. Ketika sedang wajd ia berkata, “Saya adalah seorang syekh penari.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan: Makna apa yang diucapkannya —dan hanya Allah Yang Mahatahu— bahwa syekh tersebut ingin menyerahkan kondisi spiritualnya kepada anggota majelis dan sahabat-sahabatnya sehingga ia mengatakan, “Saya adalah seorang syekh penari.” Merupakan etika yang sangat baik ia mau berbicara supaya tidak tinggal diam atau tidak meninggalkan majelis sama’ dan itu adalah sebagian dari kondisi spiritual para murid dan pemula.

Sebagian teman pernah bercerita, dimana cerita ini berasal dari Abu al-Husain ad-Darraj yang menceritakan: Aku berangkat dari Baghdad ingin mengunjungi Yusuf bin al-Husain dan memberi salam kepadanya. Setelah sampai di kota Rayyi aku menanyakan rumahnya. Namun setiap orang yang kutanya mengatakan, “Apa yang ingin Anda lakukan terhadap orang zindiq itu?” Sehingga dadaku sesak mendengar jawaban itu, sampai aku bermaksud kembali lagi ke Baghdad. Malam itu aku mencoba menginap di salah satu masjid. Pagi harinya, dalam hatiku mengatakan, “Aku telah melakukan perjalanan sejauh ini setidaknya harus sempat melihat orang yang kumaksud.” Maka aku masih menanyakan rumahnya kepada setiap orang yang kutemui dan akhirnya aku bisa sampai di masjidnya. Kemudian aku masuk ke dalam masjid, sementara ia sedang duduk di mihrab dengan membaca mushaf al-Qur’an yang ada di pangkuannya, dan di depannya ada seorang laki-laki menemaninya. Ia seorang syekh yang cukup gagah, tampan dan berjenggot. Kemudian aku mendekat dan mengucapkan salam lalu duduk di depannya. Ia pun menjawab salamku dan menyambut kedatanganku sembari bertanya, “Dari mana Anda?” “Dari Baghdad,” jawabku. “Apa yang menyebabkan Anda datang kemari?” tanyanya lebih lanjut. “Aku bermaksud datang kepada guru (syekh) untuk memberi salam,” jawabku. Lebih lanjut ia bertanya, “Bagaimana andaikan di sebagian negeri ini ada orang menawari Anda dengan mengatakan, ‘Silakan Anda tinggal di rumah kami sehingga kami akan membelikan rumah dan budak perempuan untuk Anda.’ Apakah tawaran itu akan menghalangi Anda untuk datang kemari?” “Allah tidak sampai mengujiku seperti itu. Dan seandainya Allah mengujiku demikian, aku tidak tahu apa yang bakal aku lakukan,” jawabku. Akhirnya ia mengatakan, “Adakah sesuatu yang patut Anda sampaikan?” “Ya, ada,” jawabku. “Silakan!” katanya. Kemudian aku mulai bersyair:

Aku melihat engkau telah membangun ketekunan untuk memutusku bila engkau orang yang punya keteguhan, tentu akan menghancurkan apa yang engkau bangun
Hubunganku dengan kalian sebatas kata seandainya
ingatlah, seandainya kita menyadari maka kata: seandainya tiada guna

Lalu ia menutup mushaf, dan ia terus menangis sampai air matanya membasahi jenggot dan pakaiannya, sehingga aku merasa iba memandangnya. Kemudian ia berkata, “Wahai anakku, apakah engkau menyalahkan dan mencela penduduk Rayyi yang telah mengatakan, bahwa Yusuf zindiq? Sejak usai shalat Shubuh aku membaca al-Qur’an namun tidak mampu mengucurkan air mata setetes pun, sementara diriku serasa telah terjadi Kiamat dengan mendengarkan dua bait syair ini.”

Sementara itu, asy-Syibli —rahimahullah— akan berusaha wajd setelah mendengar bait syair ini:
Persahabatan kalian adalah menjauh
dan cinta kalian adalah kebencian
pertemuan kalian adalah perpisahan
dan kedamaian kalian adalah peperangan

Pada suatu malam ad-Duqqi pernah bangun malam sampai sepertiga malam, ia berjalan meraba-raba tanpa petunjuk sampai akhirnya ia tersungkur di atas kepalanya dan masih sempat bangun lagi, sementara orang-orang menangis dan mereka yang pandai bersyair melantunkan syair berikut:

Demi Allah, tenangkan hati orang yang sedang bersedih
sebab tiada ganti orang yang dicintainya

Sebenarnya masih banyak kejadian serupa dimana hal itu tidak asing bagi orang yang berakal bila mau merenungkan tujuan mereka, macam-macam “minuman” dan tempat ketika sedang sana . Bila ia mau merenungkan sedikit yang saya kemukakan di sini dan mau memahami apa yang saya maksud, Insya Allah akan paham. Dan semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar