Selasa, 06 Desember 2011

Ilmu Ladunni itu Hanya Bagi Mereka Yang Suci

Dr. Yunasril Ali - Dosen UIN Jakarta
Sebagai makhluk yang serba ingin tahu, tiap manusia tentunya akan selalu berburu pengetahuan. Jika pengetahuan itu umumnya diperoleh melalui proses belajar, maka ada pula yang diperoleh melalui ilmu ladunni. Menurut Dr. Yunasril Ali, dosen yang relatif familiar dengan pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi ini, mereka yang senantiasa

menjaga kesucian hatinya boleh jadi akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Allah. Jenis pengetahuan inilah yang ia maksudkan dengan ilmu ladunni. Berikut petikan wawancara Cahaya Sufi dengan pengamal tasawuf yang beberapa tahun lalu justru pernah mengecam ilmu ladunni ini

Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan ilmu ladunni, dan adakah ayat al-Qur’an yang menyinggung soal ini?
Dalam bahasa Arab, ladun itu artinya di sisi. Term ini terdapat misalnya dalam surah al-Kahfi ayat 65 yang mengisahkan antara Nabi Khidir dengan Nabi Musa. Nah, dalam ayat tersebut ada perkataan wa‘allamnahu min-ladunna ‘ilma. Artinya, “Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Atas dasar ini, maka muncullah istilah ilmu ladunni. Jadi ilmu ladunni itu adalah pengetahuan langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu, tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru.

Apakah dalam kitab-kitab tasawuf ada uraian yang mengupas soal ilmu ladunni?
Ya, ada! Uraian yang agak panjang itu terdapat dalam kitab al-Risalah al-ladunniyah karya al-Ghazali. Selain al-Ghazali ada juga Ibnu Arabi. Penjelasan Ibnu Arabi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ladunni ini terdapat dalam mukaddimah Futuhat al-Makiyah, tetapi uraiannya tidak serinci al-Ghazali. Sementara dalam karya-karya Ibnu Arabi lainnya, semisal dalam Fushushul-Hikam, soal ini hanya disinggung sedikit-sedikit.

Bagaimana pandangan al-Ghazali mengenai ilmu ladunni ini?
Begini! Ilmu itu kan pengetahuan yang diperoleh manusia. Nah, cara memperolehnya itu ada dua cara. Ada ilmu yang dicari oleh manusia ada juga ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah. Dalam istilah al-Ghazali, yang diuraikan dalam kitabnya al-Risalah al-ladunniyah, yang pertama itu disebutnya ta’lim insany, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pengajaran diantara manusia; atau ilmu al-muktasab, yaitu ilmu yang dalam memperolehnya itu diusahakan oleh manusia. Adapun kategori yang kedua disebutnya dengan ilmu mauhub atau ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah.



Kelompok yang pertama itu, itulah ilmu keseharian yang dipelajari manusia baik secara formal melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun secara informal. Adapun kelompok ilmu yang kedua, yaitu ilmu ladunni, sebenarnya memang ada juga unsur usahanya. Hanya saja usahanya itu bersifat tidak langsung. Aspek usahanya itu tiada lain adalah melalui intensitas amal sampai sedemikian rupa, sehingga kualitas hatinya itu memang sudah layak untuk dapat menerima limpahan ilmu ladunni. Nah, ilmu ladunni itu dinamakan juga dengan ilmu mukasyafah. Sebab limpahan ilmu ladunni itu diterima manusia pada saat mengalami mukasyafah, yaitu terbukanya hijab antara hamba dengan Allah.

Lalu, bagaimana dengan pandangan Ibnu Arabi?
Pada intinya tidak berbeda dengan penjelasan al-Ghazali. Menurut Ibnu Arabi, yang muktasab itu dibagi dua, yaitu ilmul-aqli dan ilmul-ahwal. Ilmul aqli itu adalah ilmu dari hasil penalaran. Sedangkan ilmul-ahwal adalah ilmu dari hasil eksperimen atau penelitian empiris. Adapun istilah Ibnu Arabi terhadap ilmu mauhub atau ilmu ladunni tadi adalah ilmul-asrar. Disitilahkan dengan ilmul-asrar karena cara mendapatkannya itu adalah berupa karunia dari Allah secara langsung. Kecuali itu, ilmu asrar ini tidak semua harus disampaikan kepada ummat. Jadi dikatakan ilmu asrar karena ada bagian-bagian yang perlu dirahasiakan dari ummat Islam pada umumnya.

Jika demikian, apakah ilmu ladunni ini hanya otoritas kaum sufi/wali saja?
Kalau kita baca uraian-uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu. Menurut Ibnu Arabi misalnya, yang bisa mendapatkan ilmu ladunni itu hanyalah orang-orang yang hatinya sudah sangat suci. Analoginya begini… Ilmu itu kan biasa diibaratkan dengan nur atau cahaya. Nah, dengan demikian limpahan cahaya itu sangat bergantung dengan kesiapan penerima cahayanya. Dalam konteks ini, Ibnu Arabi menyinggung soal isti’dad, yaitu kesiapan atau kelayakan kualitas batin untuk dapat menerima luapan cahaya tadi. Untuk dapat menerima anugerah ilmu dari yang Maha Suci kan kualitas hati penerimanya juga mesti suci pula. Adapun orang-orang yang sudah jelas-jelas sangat suci hatinya itu tiada lain adalah para nabi, para wali dan para sufi. Hanya saja dalam konteks nabi dan rasul itu disebut nubuwwah dan risalah, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan wahyu. Sedangkan dalam konteks sufi atau wali disebut walayah atau kewalian, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan ilmu ladunni.

Apakah definisi ilmu ladunni itu hanya dilihat dari cara perolehannya saja, ataukah dapat juga dilihat dari segi obyek pengetahuannya?
Sejauh yang saya baca dari tulisan Ibnu Arabi dan al-Ghazali, keduanya cenderung melihatnya dari segi cara perolehannya. Maka sebenarnya, menurut mereka, ilmu ladunni itu bila ditinjau dari cara perolehannya hampir sama dengan wahyu, hanya tentu saja tingkatannya di bawah wahyu.

Jadi perbedaan antara ilmu ladunni dengan wahyu?
Perbedaannya jelas, kalau wahyu itu kan hanya untuk mereka yang ditunjuk sebagai nabi dan atau rasul. Sementara ilmu ladunni adalah dunia walayah atau kewalian yang personnya tidak ditentukan. Jadi siapa saja yang kualitas hatinya sudah sangat suci sehingga mencapai derajat wali atau sufi, maka atas idzin Allah dia akan (berpeluang) memperoleh anugerah berupa ilmu ladunni. Selain itu, apabila wahyu yang dianugerahkan kepada para rasul itu mutlak harus disampaikan kepada ummat, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui ilmu ladunni tidak mutlak harus disampaikan kepada ummat.

Apakah karena alasan yang terakhir itu sehingga Ibnu Arabi menyebutnya juga dengan istilah ilmu asrar?
Ya, diantaranya seperti itu. Dengan demikian, meski ilmu ladunni itupun bersifat mutlak kebenarannya karena memang berasal dari Yang Maha Benar, tetapi terhadap wali atau sufi yang memperolehnya tidak dibebankan kewajiban untuk menyampaikan pengetahuan tadi kepada orang lain.

Tapi, bukankan Islam telah mewajibkan kepada ummatnya untuk berdakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing?
Ya itu benar. Tetapi apa yang harus didakwahkan oleh para wali atau sufi itu bukan apa yang diperolehnya melalui ilmu ladunni tadi, melainkan risalah umum yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad. Dengan kata lain, apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada ummat manusia itulah yang harus mereka dakwahkan. Nah dalam konteks Rasulullah, apa yang beliau sampaikan kepada ummat manusia itu adalah risalah. Selain risalah, beliau juga memiliki nubuwwah yang bersifat khusus dan personal sehingga tidak beliau sampaikan kepada sembarang orang. Beliau hanya menyampaikan aspek nubuwwah itu kepada orang-orang tertentu saja, seperti kepada Uwais. Karena itu, Uwais ini memiliki pengetahuan-pengetahuan khusus yang bahkan para sahabat utama Nabi sendiri tidak mengetahuinya. Analog dengan nubuwwah, itulah ilmu ladunni yang dianugerahkan Allah secara langsung dan khusus kepada hamba-hambanya yang suci.



Mengapa ilmu ladunni tidak boleh disampaikan secara begitu saja kepada ummat?
Sebab itu tadi… ilmu ladunni itu berada dalam dataran dunia walayah atau kewalian yang sifat pengetahuannya itu begitu khusus dan sublim. Bila ini disampaikan juga, jangan-jangan malah bisa menyesatkan orang lain. Dengan demikian, bila ada orang yang mengklaim mendapat ilmu ladunni, dan lantas dia mengobral pengetahuannya itu kepada sembarang orang, saya kira itu patut diragukan kebenarannya. Sebab sebagaimana tadi sudah disinggung, anugerah ilmu ladunni itu kan hanya dimungkinkan bagi mereka yang hatinya sudah suci. Karena itu mereka yang memperoleh ilmu ladunni pasti orangnya itu sangat arif. Orang yang arif itu kan dapat mengantisipasi tingkat kemadlaratan bagi orang lain. Jika pun ada dari kalangan sufi yang terekspos, sehingga mengundang kontroversi, itu boleh jadi ulah para murid atau pengikut-pengikutnya.

Jadi, jika pengetahuan yang diperoleh secara ladunni itu kemudian diekspos ke orang lain bisa-bisa akan menimbulkan fitnah?
Ya. Bila orang yang mendengar ilmu ladunni tadi belum siap menerimanya, dalam arti kemampuan atau tingkat kesucian hatinya biasa-biasa saja serta pengalaman spiritualnya masih terbatas, ya akibatnya bisa repot.

Jika ilmu ladunni hanya bagi mereka yang suci, lalu bagaimana dengan pengetahuan yang dianugerahkan secara langsung oleh Allah kepada ummat Islam pada umumnya?
Itu mungkin namanya bukan ilmu ladunni, melainkan ilham. Sebab berbeda dengan ilmu ladunni, ilham itu bisa diberikan kepada siapa saja.

Apa perbedaan yang substansial antara ilmu ladunni dengan ilham?
Ilmu ladunni itu, sebagaimana ditegaskan Ibnu Arabi, sifatnya mutlak benar. Sedangkan ilham itu bisa benar tapi bisa juga salah, sebagaimana ditegaskan dalam surat Asy-Syams ayat 7: “Kami ilhamkan kepada manusia jalan kefasikan dan ketakwaannya.” Jadi yang diilhamkan itu bisa dua, yaitu fujuraha sebagai representasi dari ilham yang salah; dan wataqwaha yang mengacu pada ilham yang benar. Bahkan dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, karena itu mereka berhak mendapatkan ilham yang benar. Sebaliknya, merugilah orang yang mengotori jiwanya, karena itu mereka berhak atas ilham yang salah.

Lantas bagaimana untuk dapat mengetahui apakah suatu ilham itu benar ataukah salah?
Ya tinggal introspeksi diri saja, sejauh mana kondisi atau kualitas hati kita pada saat itu. Sejauh mana pula hati kita itu terpaut pada Allah. Singkatnya, ilham itu bisa benar dan bisa juga salah sangat tergantung pada kualitas hati orang yang bersangkutan.

Selain al-Qur’an, apakah ada hadist yang menyinggung soal ilmu ladunni?
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim, Barangsiapa mengamalkan ilmunya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dia ketahui. Nah, hadist ini bila dipahami maknanya secara mendalam, maka kandungannya mengarah pada ilmu ladunni yang tadi kita jelaskan. Tapi pengertian mengamalkan ilmu yang dimaksud dalam hadits ini tentunya bukan sekedar amaliah formal, melainkan amal yang mengandung kedalaman aspek batiniyahnya. Karenanya… ya itu tadi! Ilmu ladunni itu erat kaitannya dengan kualitas hati. Jadi, semakin suci kualitas hati seseorang, maka dia akan semakin berpeluang mendapat ilmu ladunni. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar