Senin, 05 Desember 2011

Klasifikasi Siksa Akhirat

Imam Al-Ghazali

Tentang tuntutan Anda kepada saya untuk merinci siksa akhirat berikut klasifikasinya, Anda jangan terlalu antusias, sebab yang demikian itu berakibat pada rasa bosan yang berkepanjangan. Anda cukup merasa puas dengan klasifikasinya saja.

Dalam alam musyahadah, saya melihat lebih jelas dibanding penglihatan mata kepala, telah tampak bahwa siksa akhirat itu terdiri dari tiga kelompok —siksa ruhani— yaitu:

Terhalang untuk menggapai apa yang disenangi,
Terbukanya kejelekan yang memalukan,
Penyesalan atas raibnya apa yang disenangi.

Tiga klasifikasi tersebut merupakan tiga ragam neraka ruhani yang menyiksa ruh, sebagai dampak negatif dari kehidupan dunia, hingga mencapai tingkat neraka jasmani. Tetapi hal ini terjadi pada tahap penyiksaan. Berikut ini penjelasan tentang kiasifikasi siksa tersebut:

Pertama, pedihnya perpisahan dengan apa yang dicintai atau disenangi.
Bentuk perumpamaannya dalam alam inderawi dan alam imajinasi atau fantasi adalah, ular naga yang disinyalir oleh syariat. Jumlah kepala ular naga tersebut adalah jumlah nafsu syahwat dan sifat-sifatnya yang tercela. Semua itu mematuk dan menyengat lubuk hati sehingga terasa amat sakit dan pedih, walaupun tubuh telah terpisah dengannya.

Bisa saja Anda bayangkan dalam alam empiris Anda, suatu contoh:

Seorang raja yang menguasai seluruh daratan bumi, menguasai seluruh bentuk kesenangan, ia bersenang-senang dan berfoya-foya semaunya dengan kenikmatan-kenikmatan tersebut, mengikuti ambisi hawa nafsu dalam mengurusi seluruh persoalan. Ia dipatuhi oleh rakyatnya, sangat perkasa di mata musuh-musuhnya dan seterusnya. Sehingga ia bersenang-senang dengan kenikmatan duniawi, bersenang-senang bersama keluarganya, memanfaatkan seluruh perbendaharaan harta-bendanya semaunya.

Sekarang coba Anda lihat, apakah di dalam hatinya terdapat ular naga yang memiliki banyak kepala, menelan lubuk hatinya, sedangkan badannya terpisah darinya? Dia hendak menguji tubuhnya dengan aneka macam bencana dan penyakit, agar bisa terbebas dari ular naga tersebut. Bisa Anda duga, barangkali Anda akan memaki-makinya karena Anda mencium bau busuk disebabkan jilatan api yang sangat membara, yang tidak bisa dilihat kecuali pada lubuk hati yang disiapkan untuk orang yang mengumpulkan harta dan selalu menghitung-hitungnya, sementara dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.

Jadi, siksa setiap orang mati bergantung pada kadar jumlah kepala ular naga tersebut. Jumlah kepalanya itu sendiri bergantung pada jumlah apa yang dicintai, disenangi dan disayangi.

Karena itulah, orang yang sangat fakir dan amat sedikit menikmati kenikmatan-kenikmatan dunia, maka siksanya lebih ringan. Orang yang sama sekali tidak punya hubungan dengan dunia, maka ia benar-benar tidak mendapatkan siksa.

Kedua, terbukanya kejelekan yang memalukan.
Bisa Anda bayangkan hal berikut: Seorang laki-laki hina-dina, fakir dan lemah disukai oleh salah seorang raja. Dia diangkat derajatnya dan diberi wewenang sebagai wakil raja.

Sang raja memberi kebebasan kepadanya untuk memasuki tempat-tempat yang hanya boleh diketahui dirinya dan untuk mengetahui seluruh perbendaharaan kerajaan, berdasarkan pada kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Setelah merasa dapat berkuasa dan segala bentuk kesenangan ada di tangannya, ia menjadi sombong dan bertindak melampaui batas. Dia berkhianat dalam hal penggunaan kekayaan kerajaan, menzinai keluarga raja, putri-putri dan dayang-dayangnya. Dalam kondisi demikian itu ia berpura-pura tetap menjaga kepercayaan di hadapan raja, dan yakin bahwa sang raja tidak akan mengetahui pengkhianatan-pengkhianatannya.

Pada saat ia asyik dengan tindakan keberingasan dan pengkhianatannya, tiba-tiba ia melihat sebuah lubang dinding, dari sana ia tahu bahwa sang raja memperhatikannya. Selanjutnya ia tahu bahwa sang raja mengawasinya setiap hari sepanjang siang dan malam, namun ia tidak mempedulikan dan meremehkannya, sehingga tindakannya semakin membabi buta.

Karena itulah, ia tambah berhak untuk mendapatkan siksa, seluruh aneka siksa akan ditimpakan kepadanya di akhirat nanti.

Sekarang coba Anda lihat hatinya, bagaimana ia terbakar dengan api kesirnaan, rasa malu dengan terbukanya kejelekan-kejelekannya, sementara tubuhnya tcrpisah dengannya. Bagaimana ia menyukai tubuhnya disiksa dengan bermacam-macam siksa di satu sisi, dan ia pun menyembunyikan rasa malu?

Begitu pula dengan Anda, ketika melakukan beberapa perbuatan yang sangat Anda senangi, padahal perbuatan-perbuatan itu memiliki hakikat yang jelek dan buruk. Anda tidak mengetahuinya, Anda kira hal itu baik. Hakikat keburukan perbuatan Anda itu tersingkap nanti di akhirat, hingga Anda merasa malu, yang membuat diri Anda pun merasakan kepedihan yang berpengaruh pada kepedihan fisik yang tiada tara.

Barangkali Anda akan bertanya, “Bagaimana hakikat dan spiritnya bisa tersingkap kepadaku?”

Anda tidak akan memahaminya tanpa perumpamaan; diantaranya sebagai berikut:
Seorang muadzin mengumandangkan adzan di bulan Ramadhan sebelum subuh. Kemudian dalam tidurnya ia bermimpi bahwa pada tangannya terdapat cincin, dengan cincin itu dia menutup mulut para laki-laki dan vagina kaum wanita.

Ibnu Sirin berkata kepadanya, “Mimpi ini dikarenakan kamu adzan sebelum subuh.”



Sang muadzin itu sudah bisa merenung, bahwa sedikit saja ia bergeser dari alam jasmani yang inderawi dengan perantaraan tidur, ruh atau hakikat amal perbuatannya telah tersingkap. Namun setelah jauh berada dalam alam fantasi —karena angan-angan orang yang tidur tidak hilang— fantasinya itu diselubungi oleh perumpamaan-perumpamaan yang difantasikan. Perumpamaan atau lambang itu adalah: cincin dan kerja menutup; tapi lambang ini menunjukkan pada hakikat amal perbuatan muadzin tersebut, yakni hakikat adzan itu sendiri sebelum subuh. Sebab, alam tidur lebih dekat pada alam akhirat, jadi kesamaran dalam hal ini lebih ringan, dan bukan berarti lepas atau bebas dari kesamaran-kesamaran, karena itulah mimpi tersebut butuh ta’bir.

Andaikata seseorang bertanya kepada si muadzin tadi, “Apakah kamu tidak malu menutup mulut para laki-laki dan vagina kaum wanita?”

Tentu dia akan menjawab, “Na’udzubillah, aku akan melakukan hal itu? Lebih baik aku disembelih daripada melakukannya!”

Dia tidak mengakuinya, karena dia tidak tahu tentang hal itu, padahal dia melakukannya, karena dia tidak mampu memahami dan mencermati hakikat dan esensi segala sesuatu.

Demikian pula jika Anda memakan daging yang baik, karena keyakinan Anda bahwa itu adalah daging burung. Lalu ada orang berkata kepada Anda, “Apakah Anda tidak merasa malu memakan daging saudara Anda yang telah mati, yaitu si Fulan?”

Niscaya Anda pasti menjawab, “Ma’adzallah, aku akan melakukan hal tersebut? Mati kelaparan lebih kusukai daripada melakukan demikian!”

Kemudian Anda tahu dan melihat bahwa itu adalah daging saudara Anda: yang telah dimasak, kemudian dihidangkan kepada Anda. Bayangkan, bagaimana kira-kira Anda merasakan kehinaan, dan terbukalah kekeliruan Anda dengannya, tubuh Anda pasti merasakan kepedihan karenanya.

Begitulah orang-orang yang suka ghibah melihat dirinya nanti di akhirat, karena esensi dan hakikat ghibah adalah, tindakan merobek-robek kehormatan dan harga diri saudara-saudara sesama Muslim, dan merasa senang dengan ghibah yang dilakukannya.

Di alam akhirat nanti, esensi dan hakikat segala sesuatu jadi tersingkap jelas. Demikian pula jikaAnda melempar batu ke tembok. Lalu ada seseorang berkata kepada Anda, “Apakah kamu tidak malu melakukan hal itu, padahal batu-batu yang kamu lemparkan itu terpental dari tembok, kemudian jatuh di rumahmu mengenai biji mata anak-anakmu, maka berarti kamu telah mencukil seluruh mata anak-anakmu?”

Anda pasti menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, dari melakukan hal demikian.”

“Cobalah masuk ke dalam rumahmu!” kata orang tadi.

Lalu Anda masuk, ternyata benar demikian. Anak-anak Anda tercukil matanya karena perbuatan Anda.

Betapa jelasnya kekeliruanAnda, dan betapa terbakarnya hati Anda karena rasa penyesalan yang sangat mendalam atas perbuatan yang dilakukan atas dasar penilaian yang remeh atau kecil, padahal begitu besar di sisi Allah Swt.

Inilah esensi rasa dengki Anda kepada saudara Anda. Anda menghasudnya, tapi tidak membahayakannya, malah berbalik kepada Anda dan membinasakan agama Anda, kebaikan-kebaikan Anda dipindah kepadanya padahal kebaikan itu adalah penyebab kebahagiaan akhirat, kebahagiaan yang abadi, yang lebih berharga dari mata anak Anda.

Jika hakikat ini telah tersingkap kepada Anda, lalu bayangkan, pikirkan, bagaimana Anda terbakar dengan api kejelekan-kejelekan Anda, sedang tubuh Anda terpisah?

Al-Qur’an banyak memaparkan tentang segala hakikat arwah. Karena itulah, Allah Swt. berfirman tentang ghibah:

“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Q.s. Al-Hujurat: 12).

Allah Swt. juga berfirman tentang dengki: “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri.” (Q.s. Yunus: 23).

Cukup bagi Anda sebagai perumpamaan dan contoh, yaitu:

Perumpamaan adzan, ghibah, dan sifat hasud di atas. Lalu, silakan Anda menganalogikan sendiri setiap perbuatan yang dilarang oleh agama! Hakikat seluruh perbuatan yang dilarang Allah itu sangat buruk bagi matahati yang melihat dalam cermin cahaya Allah Swt.

Ketiga, penyesalan atas raibnya apa yang disenangi dan dicintai.
Bisa Anda bayangkan sendiri perumpamaan sebagaimana berikut:

Anda bersama beberapa teman Anda masuk ke tempat yang gelap. Di Situ terdapat batu-batu yang tidak diketahui warnanya. Teman-teman Anda berkata, “Bawalah dan batu-batu ini yang bisa Anda bawa, barangkali ada yang bermanfaat bagi kita setelah keluar dari tempat gelap ini!”

“Untuk apa batu-batu ini? Apakah aku akan dibebani batu-batu itu, padahal aku tidak tahu manfaatnya? Ini benar-benar tindakan bodoh!” kata Anda.

Orang yang bijak tentu tidak membiarkan waktu luang untuk melakukan pembayaran secara tunai, karena mengharapkan penundaan pembayaran.

Masing-masing teman Anda tadi mengambil batu-batu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena itu, Anda mengklaim mereka sebagai orang tolol dan mencemoohkannya, karena mereka membebani diri dengan beban yang berat; sedangkan Anda berlenggang dengan penuh sukaria di sepanjang jalan yang dilalui sambil memperolok dan menertawakan mereka.

Setelah melewati tempat gelap itu, mereka pun melihat bebatuan yang dibawanya, ternyata adalah batu-batu permata dan yaqut, setiap batu itu seharga seribu dinar.

Maka, mereka pun hendak menjualnya, karena itu mereka akan menggapai kehormatan dan kenikmatan. Mereka pun menjadi orang-orang yang kaya di muka bumi, bahkan menjadi penguasa.

Selanjutnya mereka berbalik memperolok Anda, menyalahkan, lalu menyuruh Anda untuk mengawasi binatang-binatang ternaknya, supaya mereka dapat memberikan sedikit makanan setiap hari kepada Anda dari sisa-sisa makanan.

Bagaimana kira-kira Anda menyaksikan nyala dan bara api penyesalan dalam kalbu Anda, tubuh Anda juga merasakan rasa pedih yang dideritanya?

Beberapa kali Anda berkata: “Amat besar penyesalan atas kelalaianku (dalam menunaikan kewajiban) terhadap Allah.” (Q.s. Az-Zumar: 56).



“Dan andaikata kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan.”

Lalu Anda berkata kepada mereka, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air dari yang dilimpahkan kepada kalian!”

“Ini haram dan tidak boleh bagi kamu!” jawab mereka, “Bukankah kamu dulu memperolok dan menertawakan kami? Maka saat ini kami harus memperolok dan menertawakan kamu sebagaimana kamu dulu memperolok kami.”

Keringat hati Anda terus mengalir karena rasa penyesalan yang amat pedih, yang hal itu pun tiada gunanya bagi Anda. Namun Anda menghibur diri dengan berucap, “Maut membebaskan aku dan hal ini.”

Begitulah kondisi dan hal-ihwal orang yang meninggalkan kepatuhan, orang yang selalu melanggar perintah Allah — tersingkap nanti di akhirat. Sedangkan maut tidak dapat membebaskannya, bahkan justru itu merupakan penyesalan yang abadi. Rasa sakit dan pedih yang dialaminya selalu bertambah dari hari ke hari. Tentang hal ini difirmankan oleh Allah Swt.:

“Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadam mu!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (Q.s. Al-A’raaf: 50).

Demikian pulalah cahaya wajah yang berseri, dilimpahkan kepada orang-orang ahli ma’rifat dan orang-orang yang taat, yang karenanya merasakan kelezatan dan kenikmatan yang tidak dapat disetarakan dengan kenikmatan duniawi.

Bahkan orang terakhir yang keluar dari neraka dilimpahi kenikmatan yang nilainya sepuluh kali lipat dari kenikmatan duniawi, seperti yang dituturkan dalam sebuah hadis.

Pengertiannya, bukan kelipatan kadar kelezatan itu dengan rasa, tapi dengan hakikat, dengan nilai; sebagaimana permata itu sepuluh kali lipat lebih berharga dari kuda. Bukannya dengan ditimbang atau dan tolok ukur berat jenis, tapi dengan nilai barangnya, sebab nilai permata itu sepuluh kali lipat dari kuda.

Kenikmatan ukhrawi yang tidak mereka rasakan, atau tidak dilimpahkan kepada mereka, tidak seperti orang yang tidak mengasihani budaknya dengan cara memarahinya atau tidak memberi kebebasan. Tapi seperti halangan yang dilakukan Allah terhadap warna putih untuk menjadi warna hitam dalam kondisi putih, atau terhadap panas untuk menjadi dingin dalam kondisi panas. Di sini tidak tergambar adanya perubahan.

Misalnya, orang tua yang diliputi kebodohan bertanya kepada orang yang ilmu pengetahuannya mumpuni. Orang tua ini secara alamiah memang bebal, sama sekali tidak pernah terlibat dalam dunia ilmu maupun belajar bahasa.

“Limpahkan detail-detail pengetahuan Anda pada hatiku!” pinta orang tua itu.

“Allah Swt. telah mengharamkan (ilmu) itu kepada orang-orang bodoh,” kata si alim.

Artinya, bahwa pelimpahan ilmu tersebut harus proporsional, sesuai dengan kesiapan hati si penerima, kecerdasan naluriahnya, disiplin dan ketekunannya terhadap pengetahuan, setelah mendalami bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya.

Apabila kesiapan menerima ilmu itu tidak ada —sebagaimana mustahil, panas melimpah pada dingin yang permanen—Anda jangan berpraduga Allah akan marah kepada Anda dengan menurunkan siksaan-Nya. Namun Anda jangan tertipu oleh tipu daya nafsu, dengan pengandaian pada grasi-Nya, sembari mengatakan, “Allah tidak akan menyiksaku, dan maksiatku tidak berbahaya bagi-Nya.” Padahal siksa itu akibat maksiat, seperti kematian yang diakibatkan racun.

Rasa penyesalan itu disebabkan oleh dua sifat kontradiktif yang bersifat abadi: Misalnya, orang yang dibelenggu leher dan kakinya dengan tali, yang membuatnya menderita adalah konflik dua sifat yang bertentangan tersebut. Bukan karena bentuk tali dan belenggunya. Namun sifat nalurinya yang terseret pada kehinaan.

Halangan yang memaksa melalui tali, telah menghalangi nalurinya, hingga melahirkan kepedihan. Begitu pula ruh insani yang tumbuh dari ruh Ilahi dengan segenap wataknya. Pada prinsipnya ruh tersebut merindukan derajat yang luhur, alam arwah dan bersama-sama di tempat yang tinggi. Hanya saja, belenggu nafsunya menyeret kejurang terhina di tempat terbawah. Yaitu nafsu syahwat dunia. Suatu sifat yang selalu kontra dengan sifat alamiah dan menghalangi penerapan sifat alamiah tersebut.

Kepedihan itu lahir dari kontradiksi jiwa tersebut. Api pun terasa menyakitkan, juga akibat kontradiksi. Orang yang tersiksa, disebabkan adanya unsur susunan yang bersambung. Sementara api kontra terhadap kesinambungan dengan pemisahan antara unsur-unsurnya. Bila Anda belum pernah melihat api, serta Anda mendengar sesuatu yang lembut menyentuh badan dan menyakitkan diri Anda, tentu Anda mengingkari. Sembari Anda katakan, “Sesuatu yang tidak berkerangka bisa membuat sakit dengan sentuhannya?”

Pertentangan sifat-sifat tersebut menimbulkan rasa sakit dan pedih, baik itu karena faktor luar ataupun dalam. Bisa kalajengking dapat menimbulkan rasa sakit di dalam organ tubuh, karena kadar dingin dari bisa tersebut berlawanan dengan kadar panas tubuh. Karenanya, Anda jangan mengira bahwa seluruh rasa sakit itu bersumber dari luar.

Bila Anda berkata, “Kalajengking itu mematuk dari luar.” Perlu Anda ketahui, sakit gigi dan mata tidak terbatas pada keduanya saja, tetapi disebabkan oleh aturan senyawa dan dalam tubuh yang kontra pada senyawa mata dan gigi.

Ketahuilah, pertentangan dua sifat di dalam kalbu, rasa pedih dan sakitnya melebihi rasa sakit yang dialami gigi dan mata.

Si bakhil yang riya’, bila dimintai sedekah di tengah-tengah khalayak ramai, karena mereka ingin dikenal kedermawanannya, hatinya merasa pedih karena pertentangan kedua sifat tersebut dalam hatinya. Di satu sisi, sifat bakhilnya mendesak untuk tidak memberikan sedekah, sedangkan di sisi lain, kesenangannya untuk dihormati mendorongnya supaya memberikan sedekah. Kalbunya yang bertentangan itu serasa orang yang digergaji, terbelah menjadi dua.

Begitulah perumpamaan rasa penyesalan karena hilangnya kesempatan dari apa yang dicintainya. Kadarnya bergantung pada tersingkapnya celah yang hilang. Hakikat hal ini tidak Anda ketahui di alam ini, Anda akan mengetahuinya dalam alam kasyf. Inilah berita besar, sedangkan kebanyakan manusia berpaling darinya.



Ketiga bentuk siksa tersebut berlaku secara runtut dengan serangkaian tahapan sebagaimana berikut:
Klasifikasi pertama yang ditemui oleh mayit yang disiksa, yakni kepedihan karena perpisahan dengan yang dicintai. Itulah ular naga cinta dunia. Karenanya, kiasifikasi pertama ini dinisbatkan pada siksa kubur. Sebab, pertama kali yang paling dirasakan oleh kalbu orang mati adalah perpisahan dengan apa yang telah hilang darinya, seperti kedudukan, kehormatan, harta-benda dan nikmat. Kemudian tersingkap esensi seluruh amal perbuatan termasuk hakikatnya yang buruk. Ini terjadi ketika kematian dan setelah periode tertutupnya dunia.

Segala hal yang akibat siksaannya lebih dahsyat setelah kematian, penyingkapannya lebih bersifat langsung; sehingga terbuka kekeliruan dan penghinaan melalui penyingkapan tersebut. Karena itulah, penyingkapan berikutnya dinisbatkan dengan hari Kiamat. Karena hari Kiamat merupakan wahana pertengahan antara alam kubur dan tempat keabadian. Karena itu pula Allah Swt. berfirman:

“Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang berirnan bersama dengan dia.” (Q.s. At-Tahrim: 8).

Yakni, pada hari Kiamat.

Sedangkan rasa penyesalan karena sirnanya sesuatu yang dicintai terjadi pada tahap akhir, yaitu pada saat menempati hunian abadi di neraka. Tentang hal Ini Allah swt. berfirman, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” (Q.s. Al-A’raaf: 50).

Bahwa jauhnya wahana dari dunia kadang-kadang meringankan beban siksa, karena rindu pada dunia.
Panjangnya masa tersingkapnya dosa, mendorong dirinya untuk keluar dari wahana penyingkapan kehinaan.

Dinding siksa yang hina justru ketika penyingkapan dinding kehinaan yang muncul itu dirobohkan. Kemudian penyingkapan kehinaan dan rasa hina itu diringankan, maka, ketika hilangnya siksa hanya sedikit, rasa sesalnya semakin bertambah. Sebab ia merasakan besarnya nilai keringanan itu, dan seterusnya, tidak ada batas akhirnya.

Semua ini bisa Anda ketahui secara jelas, bila Anda mengenal diri Anda, bahwa Anda sebenarnya tidak mati. Namun mata Anda yang terpejam, telinga Anda yang tuli dan tubuh Anda yang lunglai.

Sedangkan hakikat Anda sebenarnya tidak binasa karena maut. Yang berubah hanya keadaan Anda.

Sementara seluruh pengetahuan, penemuan-penemuan batin dan nafsu Anda, tetap bersama Anda.

Siksa yang menimpa Anda, sebenarnya adalah perpisahan dengan apa yang Anda senangi, dan terbukanya kekeliruan Anda pada saat penyingkapan — di saat itu, disamping rasa penyesalan atas punahnya apa yang Anda hargai setelah kematian, bukan sebelumnya.

Semua itu merupakan awal dan siksa inderawi. Dan itu benar adanya, serta memiliki waktu-waktu tertentu; seperti yang dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis.

Sampai di sinilah pembahasan kita tentang masalah tersebut agar tidak melampaui batas pembahasan buku ini. Namun begitu, kami tetap berharap, mudah-mudahan rangkaian pembahasan tadi dapat menyelamatkan kita dari jeratan orang-orang sombong yang bodoh. Lebih-lebih berpaling kepada mereka.

Firman-Nya:
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (Q.s. An-Najm: 29-30).

Dengan demikian, cukuplah pembahasan kita dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddiin, yang menutup kitab Jawahirul Qur’an.

Bagi yang berhasrat untuk mendalaminya secara lebih rinci, maka dipersilakan merujuk Bab “Dzikrul Maut” pada Kitab Ihya’ Ulumuddin.

Tujuan utama buku Ini menguraikan Kitab Jawahirul Qur’an, sehingga rahasia ilmu-ilmu agama terkuak. Untuk meraihnya, tidak pernah mengalami kehampaan, kecuali jika didorong oleh kecintaan dunia, untuk obyek duniawi dan sebagai piranti bagi pekerjaan haram. Ilmu-ilmu demikian pasti tidak mendapat tempat dalam buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar