Selasa, 06 Desember 2011

Hikmah Di Balik Musibah

“Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 14)

Dalam 6 tahun terakhir (sejak tahun 2004) sbb :

1.Gempa Nabire, Papua, 26 November 2004

2.Gempa dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004

3.Gempa Jogja, 26 Mei 2006

4.Gempa Tasik, Jawa Barat, 26 Juni 2010

5.Gempa dan Tsunami Mentawai, Sumatera, 26 Oktober 2010

6.Letusan Gunung Merapi, Jogja, 26 Oktober 2010

Kemudian ada pula yang menambahkan bahwa Letusan Gunung Krakatau yang menewaskan 36.000 orang terjadi pada tanggal 26 Agustus 1883. Sedangkan yang terjadi di luar negeri diantaranya : Gempa Lisbon, Portugal, 26 Januari 1531 (30 ribu orang tewas) ; Gempa di laut Pasific, 26 Januari 1700, yang dikenal sebagai mega earthquake, dimana daerah pesisir utara dan selatan Amerika luluh lantah oleh guncangannya, dan Gempa di Naples, Calabria Italia, 26 Juli 1805 (26 ribu orang tewas).

Terkait dengan angka 26 dan bencana alam / bumi, maka jika dicari kata “bumi” di Al Qur’an akan terdapat 426 ayat (dari 80 Surat) yang menyebutkan kata “bumi”. Menariknya dari 426 ayat tersebut ada 3 ayat (dari 3 Surat berbeda) - yg ketiganya adalah ayat ke 26; yang (“Subhanallah”) isinya kurang lebih sama , yakni suatu peringatan bagi kita semua, sbb :

1. Ayat 26 Surat 18 Al Kahfi : “...Kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”
2. Ayat 26 Surat 30 Ar-Ruum: “Dan Kepunyaan-Nya-lah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk.”
3. Ayat 26 Surat 31 Luqman : “Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Selain itu, ayat 126 Surat 4 An-Nissa juga berisi serupa dengan 3 ayat di atas, yakni :
“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yg di bumi; dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi Segala Sesuatu.”

Kita diingatkan bahwa langit dan bumi beserta seisinya, yang ghoib maupun yang nyata, termasuk manusia, semuanya adalah makhluk-Nya - yakni kepunyaan Allah Yang Maha Esa karena Dia-lah Sang Maha Penciptanya. Semua tunduk kepada-Nya karena Dia-lah Sang Maha Kuasa. Dan tak ada pelindung bagi keselamatan kita semua selain dari Dia - Sang Maha Pelindung. Semua juga akan kembali kepada-Nya karena Dia-lah Sang Maha Hidup lagi Maha Kekal / Abadi. Jadi, sesungguhnya kita semua (semua makhluk) adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita semua kembali.
Dengan demikian, jika kita mau introspeksi, maka tidaklah pantas jika kita berlaku sombong, serakah dan berbuat kedzaliman di muka bumi ini serta berbuat ingkar / durhaka pada Allah swt – Tuhan Semesta Alam.

Gambaran Azab Allah
Di dalam Al Qur’an, kata “azab” terdapat dalam 319 ayat (dari 71 Surat), tiga diantaranya pada ayat ke 26, dari 3 surat berbeda sbb :

1. Ayat 26 Surat 35 Faathir :“Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.”
2. Ayat 26 Surat 39 Az-Zumar : “Maka Allah merasakan kepada mereka kehinaan pada kehidupan dunia. Dan sesungguhnya azab pada hari akhirat lebih besar kalau mereka mengetahui.” 3
3. Ayat 26 Surat 42 Asy-Syuura : “..dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras.”

Diantara kandungan atau isi dari 319 ayat (yang memuat kata “azab”) tersebut, sebagian menceritakan tentang adanya azab yang sangat keras (api neraka) bagi orang-orang kafir (yang mengingkari ayat-ayat Al Qur’an dan yang durhaka kepada Allah swt. Sebagian lain menceritakan azab (kecil) yang ditimpakan di dunia oleh Allah terhadap kaum yang memusuhi para Nabi.

Dengan demikian apabila dikaitkan dengan bencana alam di Indonesia, maka tidaklah arif jika serta-merta kita menyimpulkan bahwa yang terkena bencana alam adalah termasuk kaum kafir sehingga mendapat azab.
Alasannya :

1. Tentu bukan hak kita (melainkan hak Allah) untuk menilai demikian. Apalagi jelas bahwa di berbagai tempat yang terkena bencana alam juga meliputi daerah yang penduduknya sangat religius. Karena, kalau demikian halnya, kenapa bencana alam tidak terjadi di kawasan atau daerah atau Negara yang ada (banyak) tempat dan pelaku maksiatnya? Allah Maha Tahu. Keimanan, kemungkaran, kemusyrikan dan kekafiran adalah “perbuatan” hati. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia pula lah yang paling mengetahui, siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Najm 53:30)
2. Jika kita langsung menghakiminya dengan sebutan sebagai azab Allah, maka yang dipakai adalah prasangka negatif atau interpretasi yang tendensius (bahwa yang tertimpa bencana adalah kafir/sesat) sehingga menjadi tidak produktif atau tidak bermanfaat bagi diri kita sendiri maupun bagi korban yang terkena musibah atau bencana. Bisa jadi malah akan menimbulkan ungkapan-ungkapan sinis dan sikap yang tidak empati. Jadi akan lebih arif jika kita mengambil gambaran bencana alam yang dasyat yang terjadi akhir-akhir ini (dimana manusia ternyata tidak berdaya menghadapinya) dipakai sebagai gambaran dasyatnya kuasa Allah swt apabila azab-Nya kelak diberlakukan bagi orang-orang kafir alias tidak beriman – apalagi azab neraka.

Hidup Adalah Cobaan
Sesungguhnya kehidupan di dunia itu adalah cobaan atau ujian Allah swt bagi seluruh manusia untuk mengetahui mana diantaranya yang beriman kepada-Nya.

“Apakah orang mengira akan dibiarkan cukup menyatakan kami beriman dan mereka tidak akan diuji ? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut 29:2-3)
Satu sisi, Allah adalah Tuhan pada setiap kondisi dimana Allah swt terus-menerus mengurus makhluknya sepanjang waktu dengan rahmat-Nya. Satu sisi lainnya, manusia diuji siapakah yang bisa bertahan dan kuat keimanannya untuk menjadi hamba-Nya juga pada setiap kondisi. Bisa tidak manusia bersikap sabar dan syukur serta tawakal kepada-Nya dalam kondisi apapun di sepanjang waktu hidupnya sehingga bisa kembali pada-Nya dalam kondisi “khusnul khotimah” ?

Oleh karena itu, kita telah diingatkan oleh Nya bahwa segala kejadian dan apa-apa yang dialami dan dimiliki manusia, baik berupa kebaikan atau keburukan ; kemudahan atau kesusahan; maupun berupa kesenangan dan kesedihan, serta harta, perhiasan, jabatan, pangkat, kedudukan, keluarga, anak, istri/ suami, maupun yang lainnya, semuanya adalah cobaan atau ujian.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa 21:35)

“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.”(QS. Az-Zumar 39:49)
Dengan demikian jika semua kejadian atau peristiwa apapun adalah cobaan / ujian dari Nya, maka ketika ada musibah / bencana maupun ketika tidak ada musibah / bencana adalah sama saja – semua adalah cobaan atau ujian keimanan kita - bisa terus bersabar dan bersyukur serta tawakal tidak kita ?

Sementara rahmat Allah tidak terputus oleh waktu dan tidak tersembunyi oleh jarak – jika kita memahami.
Jadi menjadi kurang arif jika terkait bencana alam yang sering terjadi di tanah air akhir-akhir ini dikatakan bukan sebagai cobaan / ujian.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan :”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada Nya lah kami kembali). Merekalah itulah yang mendapat keberkatan sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah 2:155-157)

Tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini, semuanya telah diatur oleh Allah swt. Tergantung pada diri kita masing-masing dalam menyikapi suatu peristiwa. Bagi orang yang beriman tentu akan menyikapi segala sesuatu dengan prasangka yang baik kepada Allah swt, yakni bahwa : Allah swt memiliki rencana, kehendak dan kuasa untuk mengatur semua makhluk-Nya. Tentu kita meyakini bahwa tak ada yang sia-sia semua yang terjadi atau yang diciptakan-Nya. Semua pasti mengandung hikmah, sebagaimana firman-Nya : “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yg ada di antara keduanya tanpa hikmah.” (QS. Shaad 38:27)

Dengan cara menyikapi yang demikian, maka bagi orang yang beriman pasti memiliki pemahaman bahwa apa saja jika disikapi dengan prasangka baik kepada Allah swt maka akan ada hikmah yang dapat dipetiknya, yakni menjadi ladang ilmu dan amal bagi kita semua.

Dalam memandang peristiwa bencana alam, seperti gempa tektonik (gerak / benturan lempengan bumi) dan meletusnya gunung berapi, kita bisa menjadikan ladang ilmu bagi kita semua.

Sebagai ladang ilmu, karena kita bisa menjadi tahu atau paham bahwa Allah memang Maha Besar lagi Maha Pemurah. Langit dan Bumi yang diciptakan-Nya dan diperuntukkan untuk kehidupan manusia, sesungguhnya diciptakan dengan struktur yang sangat canggih dimana magma bumi yang sangat panas dibungkus oleh lapisan kulit bumi atau lempeng bumi yang berlapis-lapis dengan deretan gunung-gunung berapi, yang semuanya bersifat dinamis sepanjang masa.

“Dan tidaklah Kami (Allah) ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main.” (QS. al-Anbiyaa : 21:16).
Kedinamisan lempeng bumi ini (prosesnya yang telah berlangsung jutaan tahun) telah “membentuk” permukaan bumi seperti yang kita lihat sekarang ini, dimana kepulauan Indonesia dikelilingi “pertemuan” lempeng bumi dan deretan gunung berapi (“ring of fire”). Proses dinamisasi lempeng bumi mengakibatkan adanya perubahan-perubahan posisi, seperti daratan yang tadinya adalah lautan atau sebaliknya yang dulu daratan menjadi lautan serta terbentukannya lembah-lembah, bukit-bukit dan pegunungan.

Mineral-mineral yang terkandung bumi adalah akibat dinamisasi bumi tersebut, termasuk adanya batubara dan minyak bumi, misalnya, yang berasal dari bahan organik (yang begitu lama tertimbun dalam lapisan tanah atau batuan) sehingga mengalami proses kimiawi sejak berjuta tahun yang lalu dan berlangsung dalam rentang waktu yang juga berjuta tahun.

Dengan demikian tanah air Indonesia yang kaya dan subur itu adalah konsekuensi dari kondisi geografis yang dikelilingi oleh lempeng-lempeng bumi beserta jajaran gunung berapinya. Dan sudah menjadi konsekuensi pula bila frekuensi gempa dan aktivitas gunung berapi (letusan) sering terjadi di Indonesia, karena hal itu adalah proses alam yang memang harus terjadi. Dengan cara itulah alam (Allah melalui alam) memberi manfaat bagi manusia untuk kehidupannya. Bahwa dampaknya menelan korban jiwa bagi manusia, maka hal itu juga menjadi salah satu konsekuensinya.
Adalah kewajiban manusia untuk berfikir dan mencari solusi agar tidak terjadi korban yang lebih besar pada peristiwa-peristiwa serupa (bencana alam) berikutnya. Dalam hal ini, barangkali ucapan yang disampaikan oleh Surono (Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) tentang Gunung Merapi dapat merepresentasikan penjelasan tersebut, yakni :
“Selain Merapi tak pernah ingkar janji, Merapi tak pernah meminta banyak. Justru ia akan memberi banyak manfaat dari pada memberikan kerugian. Merapi sekarang ini sedang menaburkan kesuburan, kemakmuran untuk manusia di mana-mana, untuk kita semua. Seharusnya kita bisa hidup damai berdampingan dengan Merapi.”

Kita bisa melakukan amal ibadah dalam berbagai bentuk. Berdoa dan mendoakan untuk para korban bencana / pengungsi, para aparat dan para sukarelawan yang bertugas di daerah bencana adalah bentuk amal yang paling mudah atau ringan. Bentuk lainnya adalah memberi bantuan atau sumbangan baik dalam bentuk uang atau materi untuk para korban bencana, atau bantuan tenaga dan pikiran seperti yang dilakukan para aparat dan para sukarelawan.

Puncak kesadaran diri dari hikmah itu semua adalah kesadaran dan pemahaman serta keyakinan atas hakikat Allah – Tuhan Semesta Alam dan hakikat diri sebagai salah satu makhluk-Nya – yang mestinya menjadi hamba-Nya dalam segala kondisi, sehingga akan muncul kesaksian yang haqul-yakin bahwa :

1. Sesungguhnya Tiada Tuhan Selain Allah (Laa ilaha ilallah)
2. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita kembali (Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ;
3. Sesungguhnya hanya Allah Yang Maha Suci (Sbahannallah) ;
4. Segala Puji Hanya Bagi Allah (Alhamdulillah) ;
5. Sesungguhnya hanya Allah Yang Maha Besar (Allahu Akbar).
6. Sesungguhnya kita tiada daya dan upaya selain dari pertolongan Allah, dan hanya kepada-Nya lah kita berserah diri ; (Bismillaahi tawakkaltu ‘alallahi Laa haula wa laa quwwata illa billaah) ;
7. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah (Inna sholaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillahi robbil ‘aalamiin)

Semoga interpretasi di atas bermanfaat.. (13 November 2010).

Oleh Tri Susatyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar