Senin, 05 Desember 2011

Adab Makan, Kumpul Dan Bertamu

Syeikh ABu Nashr as-Sarraj-Rahimahullah berkata:
Dikisahkan dari Abu al-Qasim al Junaid - rahimahullah - yang mengatakan, “Rahmat dari Allah swt. diturunkan kepada para kaum Sufi-dalam tiga tempat: Saat mereka
makan. Karena mereka tidak akan makan kecuali karena sangat membutuhkannya;

1. Ketika membicarakan ilmu. Sebab yang mereka bicarakan hanyalah kondisi spiritual orang-orang jujur dan para wali.
2. Ketika sedang Sama ‘ (mendengar dengan ekstase). Sebab mereka tidak mendengar kecuali dari Yang Haq dan tidak berdiri kecuali dengan wajd-Nya.

Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Masruq ath Thusi berkata: Muhammad bin Manshur ath-Thusi berkata padaku, dan Abu al-Abbas datang ke rumahku sebagai tamu, “Tinggallah di rumahku selama tiga hari. Dan jika lebih dari tiga hari maka itu adalah sedekah dari Anda untuk kami.”
Sari as-Saqathi - rahimahullah - berkata, “Aduh! Sesuap nasi yang tidak karena Allah akan menjadi beban berat bagiku, dan sesuatu yang tidak untuk makhluk bagiku adalah suatu anugerah.”

Abu Ali an-Nauribathi berkata, “Jika ada orang sufi datang kepada kalian, maka suguhkan sesuatu yang biasa ia makan. Jika ada para ahli fiqih datang kepada kalian, maka tanyakan masalah kepada mereka. Dan jika ada orang-orang pandai membaca al-Qur’an (qurra’) datang kepada kalian maka tunjukkan ke mihrab.”

Abu Bakar al-Kattani berkata: Abu Hamzah berkata, “Aku pernah bertamu ke rumah Sari as-Saqathi. Maka la datang menemuiku dengan membawa sepotong roti, dan menjadikannya separo dimasukkan ke dalam mangkok. Lalu aku bertanya, Apa yang Anda lakukan ini? Aku bisa minum ini dalam sekali telan. Kemudian ia tertawa dan berkata, ‘Ini jauh lebih baik bagi Anda daripada haji’.”

Sementara itu, Abu Ali ar-Rudzabari ketika melihat orang-orang sufiberkumpul di satu tempat, maka la mengutip ayat ini:

“Dan Dia Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.” (Q.s. asy-Syura: 29).
Abu Ali juga berkata, “Jika para sufi berkumpul di satu tempat maka akan memberikan rasa kasih sayang kepada mereka, dan akan dibukakan banyak hal bagi mereka.” la kemudian mensinyalir sebuah ayat:
“Katakanlah, ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui’.” (Q.s. Saba’: 26).

Ja’far al-Khuldi - rahimahullah - berkata, “Makan yang sekarang ini adalah makan setelah makan yang kalian melihatnya setelah sahabat-sahabat kami sangat lapar.”
Selanjutnya la mengatakan, “Jika Anda melihat seorang sufi makan dengan porsi yang banyak, maka Anda perlu tahu, bahwa tindakan itu tidak lepas dari tiga hal: Pertama, mungkin karena waktu yang telah ia lalui, atau waktu yang akan datang, atau karena waktu di mana ia sekarang alami.”

Sementara itu asy-Syibli - rahimahullah - berkata, “Andaikan dunia ini adalah sesuap makanan yang ada di mulut seorang bayi maka akan aku sayangi anak itu.”

la juga mengatakan, “Andaikan dunia dan apa yang ada di dalamnya adalah sesuap makanan, tentu akan kumakan, dan akan kubiarkan seluruh makhluk berhubungan dengan Allah tanpa perantara.”

Sebagian kaum Sufi berkata, “Etika makan itu dibedakan menjadi tiga: (1) Makan bersama teman dengan cara memberikan kesenangan; (2) Bersama para pemilik dunia, maka dengan adab; dan (3) Bersama orang-orang Sufi dengan cara mengutamakan mereka daripada diri sendiri.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Ini bukanlah termasuk adab kaum fakir. Sebab di antara adab kaum Sufi ketika mereka makan, mereka tidak sedih dan gelisah, serta tidak merasa memiliki beban. Mereka tidak memilih makanan yang banyak tapi jelek dari pada makanan yang sedikit tapi bersih dan bagus. Mereka juga tidak memiliki jadwal tertentu untuk makan. Jika ada makanan yang datang mereka tidak saling menyuapi antara satu dengan yang lain. Namun jika disuapi mereka juga tidak menolak. Mereka tidak suka makanan banyak yang kering. Ketika sangat lapar, maka adab mereka ketika makan adalah dengan sangat baik.

Aku pernah mendengar seorang Syekh yang mulia berkata, “Aku kelaparan selama sepuluh hari dan selama itu aku tidak makan apa-apa. Kemudian setelah itu aku diberi makanan, akhirnya aku makan dengan menggunakan dua ujung jari. Kemudian orang yang memberiku makanan berkata, ‘Makanlah dengan tiga jari sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw’.”
Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah -yang berkata, “Sejak delapan puluh tahun aku tidak makan sesuatu sesuai dengan seleraku.”

Abu Bakar al-Kattani ad-Dinawari di Baghdad tidak makan apa pun. la menampakkannya karena ada pertanyaan dan pertentangan.
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Merupakan tindakan yang sangat hina seseorang yang makan dengan alat agamanya.”

Abu Turab berkata, “Aku diberi makanan, namun aku menolak untuk makan. Setelah itu aku dihukum dengan kelaparan selama sepuluh hari. Kemudian aku sadar, bahwa aku sedang diuji. Akhirnya aku memohon pertolongan pada Allah dan segera bertobat.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Dengan bersihnya - makanan, pakaian, dan tempat tinggal maka seluruh perkara akan menjadi baik.”

Di ceritakan dari Sari as-Saqathi - rahimahullah - yang berkata, “Makan mereka ( kaum Sufi ) seperti makannya orang sakit, tidurnya seperti tidurnya orang yang tenggelam.”
Abu Abdillah al-Hushri - rahimahullah -berkata, ‘Aku diam selama bertahun-tahun, dimana aku tidak pantas mengatakan, Aku tidak berselera.’ dan tidak pantas aku makan.”

Di kisahkan, bahwa Abu Muhammad al-Fath bin Said al-Maushili - rahimahullah - pernah datang dari Mousul berkunjung ke rumah Bisyr al-Hafi. Kemudian al-Hafi mengeluarkan uang satu dirham dan diberikan kepada Ahmad bin Yahya bin al Jalla’, yang saat itu la menjadi pembantunya.

“Berangkatlah ke pasar dan belilah makanan dan lauk-pauk yang baik,” perintah al-Hafi kepada al Jalla’.
Ahmad al Jalla’ berkata: Kemudian aku berangkat ke pasar, dan membeli roti. Sementara itu aku berkata pada diriku sendiri, “Nabi saw tidak pernah mendoakan pada suatu makanan dengan doa, ‘Ya Allah berkahilah kami pada makanan ini dan tambahkanlah kami darinya.’ kecuali pada susu.” Akhirnya aku membeli susu dan kurma yang baik. Aku datang dan aku suguhkan kepadanya. Kemudian la makan apa yang perlu la makan, dan mengambil sisanya kemudian la keluar.

Ketika tamunya sudah keluar, maka Bisyr al-Hafi berkata kepada orang yang ada di sisinya, “Ia adalah al-Fath al-Maushili yang datang kepadaku untuk berziarah. Tahukah’ kalian, mengapa ia tidak berkata kepadaku, ‘Makanlah!?’ Sebab seorang tamu tidak boleh mengatakan kepada tuan rumah, ‘Makanlah!’ Dan tahukah kalian mengapa aku memerintahkan kepada al Jalla’, ‘Belilah makanan yang baik?’ Sebab makanan yang baik berusaha mengeluarkan syukur yang murni. Lalu tahukah kalian, mengapa ia membawa sisa makanan tersebut? Sebab jika tawakalnya sudah benar maka apa yang dibawanya tidak akan membahayakannya.”

Dikatakan kepada Ma’ruf al-Karkhi - rahimahullah, “Mengapa Anda selalu berangkat kepada orang yang mengundangmu?” la menjawab, ‘Aku hanyalah seorang tamu, aku akan mampir di mana mereka mempersilakan aku mampir.”

Dikisahkan dari Abu Bakar al-Kattani -rahimahullah -yang berkata, “Selama setahun kira-kira tiga ratus orang dari kaum sufidan guru Sufi (syekh) berkumpul di sini, yakni di Mekkah. Mereka berkumpul di satu tempat. Selama itu di kalangan mereka tidak pernah berlangsung suatu rizudzakarah (belajar ilmu). Sementara itu yang ada di kalangan mereka hanyalah akhlak, kemuliaan dan antara yang satu dengan yang lain saling memberikan prioritas daripada diri mereka sendiri.”

Abu Sulaiman ad-Darani - rahimahullah - berkata, “Jika Anda menginginkan suatu hajat (kebutuhan) dunia maupun akhirat, maka janganlah Anda makan sehingga Anda berhasil meraihnya. Sebab makan itu akan mematikan hati.”

Dikisahkan dari Ruwaim - rahimahullah - yang berkata, “Sejak dua puluh tahun benakku tidak pernah terlintas masalah makanan sampai ia datang sendiri.”

Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Atha’ ar-Rudzabari berkata, ‘Abu All ar-Rudzabari pernah membeli beberapa kantong gula putih. Kemudian la memanggil sekelompok orang yang ahli membuat manisan. Mereka menjadikan gula tersebut suatu dinding yang memiliki teras dan mihrab yang memiliki beberapa tiang yang berukir. Seluruhnya dari bahan gula. Kemudian ia mengundang kaum Sufi sehingga mereka menghancurkan seluruhnya dan merampasnya.

Saya mendengar Abu Abdillah ar-Rudzabari berkata, “Ada seseorang mengadakan jamuan. la menyalakan lampu sebanyak seribu. Kemudian ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Anda telah melakukan pemborosan.’

Seseorang yang mengadakan jamuan balik berkata, ‘Silakan Anda memasuki ruangan, dan silakan Anda memadamkan lampu yang saya nyalakan karena Allah.’

Laki-laki tersebut kemudian masuk ruangan dan berusaha memadamkan lampu-lampu itu. Namun ia tidak mampu memadamkan satu lampu pun, dan akhirnya berhenti.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri - rahfmahullah - yang berkata: Aku mendengar Ahmad bin Muhammad as-Sulami berkata, “Aku pernah di Mekkah, dan selama tiga hari aku tidak pernah makan apa pun. Kemudian terlintas dalam benakku untuk mengumpulkan para ahli ibadah, para sufi dan orang-orang yang memiliki keutamaan yang tinggal di tanah Haram. kemudian aku menyewa sebelas pasang tenda, dan berharap rezeki yang datang dari berbagai penjuru. Aku terus melakukannya selama sebelas hari. Dan selama sebelas hari itu pula aku tidak pernah makan apa pun.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar