Senin, 05 Desember 2011

Adab Berpakaian

Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Saya mendengar dari para jama`ah syekh Abu Abdillah ash-Shubaihi berkata, “Kefakiran seorang fakir (Sufi) belum bisa dibenarkan sehingga la keluar dari rasa

memiliki. Ketika la sudah bisa keluar dari seluruh rasa memiliki maka akan muncul suatu kedudukan. Oleh karenanya, seyogyanya la menanggalkan kedudukannya sehingga tidak tersisa kedudukan apapun. Ketika la mengorbankan kedudukannya maka yang tersisa adalah kekuatan dirinya. Maka kekuatan dirinya pun harus dikorbankan untuk teman-temannya dengan cara melayani kepada mereka dan berusaha demi kepentingan mereka. Baru pada saat itulah kesuflannya bisa dlanggap benar.”

Saya mendengar Abu Abdillah ar-Rudzabari berkata, “Muzhaffar al-Qirmisini masuk di Ramalah bersama seorang panngeran. Mereka memiliki kedudukan terhormat di kalangan orang-orang kaya di daerah tersebut. Maka mereka senantlasa mengorbankan kedudukannya dan menginfakkan hartanya kepada para sufi hingga tak tersisa kedudukan apa pun di mata slapa pun. Tidak seorang pun yang akan memberi mereka sesuatu dengan cara meminta atau berhutang atau dengan gadai. Maka dalam kondisi demiklan waktu mereka menjadi baik.”

Dikatakan pada Ibrahim bin Syaiban al-Qirmisini - rahimahullah, “Bagaimana kondisi Muzhaffar al-Qirmisini dengan dua lembar serpihan kain dan meminta serta melayani teman-temannya?” Maka ia menjawab, “Ia telah mulai melangkah dalam futuwwah (kemurahan hati) hanya karena Allah, sehingga ia tidak mau lagi ketinggalan satu langkah pun yang telah dilakuan karena Allah.”
Ada sebagian kaum Sufi di Baghdad yang hampir tidak bisa makan kecuali dengan meminta-minta. Kemudlan ia ditanya tentang alasan melakukan hal itu. Maka ia menjawab, “Saya memilih hal itu sebab nafsu saya sangat tidak menyukainya.”

Ada seorang syekh Sufi terhormat masuk sebuah negeri. Ia melihat seorang “murid” (pemula) yang nafsunya selalu mengabulkan keinginannya untuk melakukan ketaatan, ibadah, kefakiran dan mengurangi makan. Perilakunya ini membuatnya bisa diterima di masyarakat awam. Kemudlan syekh Sufi tersebut berkata kepada si murid ini, “Semua yang telah Anda lakukan itu tidak bisa dibenarkan (sah) kecuali bila Anda mau mengemis sisa-sisa roti dari pintu ke pintu, dan Anda jangan makan apa pun kecuali dari hasil Anda mengemis.”

Namun perintah guru Sufi itu terasa berat bagi si murid dan ia tidak sanggup melakukannya. Ketika si murid ini sudah lanjut usia, terpaksa meminta-meminta karena ia butuh. Dan ia sadar bahwa hal itu merupakan hukuman atas ketidaktaatanya atas perintah guru di awal dalam merambah Jalan Allah swt.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Syekh Sufi tersebut tidak lain adalah Abu Abdillah al-Muqri’i, sedangkan syekh yang awal perjalanannya diperintah mengemis adalah Abu Abdillah as-Sajazi - rahimahullah.

Saya mendengar cerita tentang seorang syekh dari para elite Sufi berpuasa, sementara bekal untuk berbuka puasa harus mencari sisa-sisa roti dari pintu ke pintu. Ia tidak mau makan makanan selain dari sisa-sisa roti tersebut hingga malam kedua. Ternyata apa yang dilakukan syekh Sufi ini diketahui oleh seseorang, lalu ia membawakan makanan ke tempat syekh Sufi tersebut. Namun ia tidak mau makan dari makanan yang dibawakan seseorang, malah meninggalkan tempat yang telah diketahui orang lain dan tidak pernah kembali lagi.

Dikisahkan dari Mumsyadz ad-Dinawari, bahwa suatu saat jamaah dari teman-teman kaum fakir Sufi datang ke rumahnya. Kemudlan ia masuk pasar untuk mengumpulkan sisa-sisa roti dari toko-toko yang ada di pasar yang kemudian ia bagikan kepada teman-temannya yang datang.
Dikisahkan dari Bunan al-Hammal yang berkata, “Sama sekali saya tidak tahu bahwa diriku adalah `tukang pukul’ kecuali dalam sekali kesempatan. Dimana saya pernah melihat seorang fakir Sufi berpuasa. Setelah shalat Maghrib ia keluar ke pasar dan meminta sesuap nasi dari setiap toko. Ketika merasa kenyang ia kembali ke tempat tinggalnya. Suatu malam saya pernah membawanya. Saya meminta dari orang-orang roti yang banyak, manis-manisan dan buah-buahan, sehingga terkumpul dalam jumlah yang cukup banyak, kemudian saya berikan kepadanya. Tatkala mau beranjak dari tempat itu ia berkata kepadaku, `Wahai syekh, apakah ini seorang polisi?’ Saya menjawab, `Tidak! Saya ini Bunan al-Hammal.’ Kemudlan ia melemparkan seluruh barang yang ia bawa ke wajahku sembari berkata, `Wahai tukang pukul, apa yang Anda kerjakan ini hanya pekerjaan seorang polisi, dan bukan pekerjaan seorang syekh. Sebab setiap orang yang Anda mengatakan kepadanya, `Tolong berikan itu,’ la akan menyerahkan apa yang Anda inginkan’.”

Dikisahkan dari sebaglan murid-murid Sufi yang meminta makanan untuk sahabat-sahabatnya dan ia makan bersama mereka. Sebaglan jamaah syekh mencela tindakan itu dan berkata, “Engkau telah tertipu oleh nafsumu dan engkau sebenarnya meminta untuk dirimu dan bukan untuk teman-temanmu. Sebab jika engkau benar-benar meminta demi teman-temanmu dan kau benar mengorbankan dirimu demi mereka tentu engkau tidak akan makan bersama mereka.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Hukum orang yang melakukan tindakan di atas, jika hal itu telah menjadi kebiasaannya, sementara nafsunya telah cenderung menyukainya sebaiknya ditinggalkan. Dan barangsiapa meminta karena benar-benar terpaksa maka hendaknya ia tidak mengambil kecuali dari kebutuhan primer yang tidak bisa ditinggalkan. Jika ia diberi banyak, hendaknya ia mengambil sekadar apa yang dibutuhkan dan sisanya diberikan kepada orang lain.
Makan dengan cara meminta adalah lebih baik daripada makan dengan taqwa. Seorang fakir yang terpaksa harus meminta maka tebusan (kaffarat)nya adalah kejujurannya.
Ada sebaglan syekh Sufi selama berhari-hari tidak makan. Sedangkan la berada di negeri asing. Ia hampir saja mati. Namun ia tak mau meminta-meminta. Kemudian ditanya alasan mengapa ia tidak mau meminta? Maka ia menjawab, “Yang melarangku meminta-meminta adalah sabda Rasulullah saw.:

‘Jika seorang pengemis itu benar-benar jujur maka orang yang menolaknya tidak akan bahagia.’ (H.r. ath-Thabrani dengan sanad dha’if)
Saya tidak ingin ada seorang muslim yang menolakku kemudlan ia tidak bisa bahagia, karena sabda Nabi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar